Senin 05 Mar 2018 01:00 WIB

Kala Curiga Menghantui Cadar di Kampus Islam

Hindari sikap standar ganda terhadap agama.

Wanita mengenakan cadar.
Foto: EPA
Wanita mengenakan cadar.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhamad Afif Sholahudin *)

Perkembangan zaman biasanya diikuti dengan perubahan norma sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Kebiasaan menggunakan cadar pun semakin diminati, penggunanya semakin banyak bahkan mulai bermunculan komunitas-komunitas cadar khususnya di kalangan remaja. Selain menunjukkan bahwa cadar adalah bagian dari syariat Islam, kehadiran mereka pun berusaha meluruskan persepsi kebanyakan masyarakat bahwa cadar identik teroris.

Tak heran jika anggapan seperti ini kerap kali muncul, seringnya aksi terorisme yang terekpos di Indonesia selalu pelakunya dikaitkan dengan sosok agamis, kaum celana cingkrang, jenggot panjang dan jilbab bercadar. Tuduhan seperti itu sangat tendensius, disamping masih banyak lagi kejadian yang lebih keras efeknya dibanding isu terorisme baru-baru ini. Bahkan koruptor yang jelas merugikan negara pun bisa terlihat agamis saat menghadapi persidangan.

Menarik dari fenomena ini, belakangan ada salah satu kampus Islam di Yogyakarta yang mengeluarkan peraturan bagi mahasiswanya yang bercadar. Bukan sebuah larangan, tapi berupa pendataan dan pembinaan di setiap lapisan civitas kampus. Melalui surat bernomor B-1301/Un.02/R/AK.00.3/02/2018 Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta baru-baru ini mengeluarkan surat edaran ‘penting’ bagi Direktur Pascasarjana, Dekan Fakultas dan Kepala Unit/Lembaga di kampusnya. Perlu disoroti tujuan dari pendataan tidak lain melakukan pembinaan bagi para pengguna cadar.

Pertimbangannya berupa peraturan kampus yang harus ditaati, selain itu pihaknya perlu mengantisipasi masuknya aliran-aliran yang tidak diharapkan di kampusnya. Meskipun mereka sudah menjelaskan bahwa pihaknya tidak bermaksud memberikan stigma negatif bagi mahasiswinya yang bercadar, namun upaya untuk menginvestigasi kegiatan-kegiatan mahasiswa terselubung masih tetap dilakukan. Setidaknya info ini yang dijelaskan oleh Waryono, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama (detik.com 22/2/2018).

Memang pada dasarnya kampus berhak mengeluarkan aturan yang mengharuskan mahasiswanya terkait pakaian yang digunakan. Hal itu merupakan bagian dari norma akademik kampus, yakni ketentuan, peraturan dan tata nilai yang harus ditaati seluruh manusia berkaitan dengan aktivitas akademik. Begitupun sanksi yang ditetapkan untuk jenis pelanggaran baik yang bersifat akademik maupun non akademik. Namun, hal ini tentunya dibatasi dengan peraturan yang berlaku. Dalam Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi bahwa Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan prinsip: (b) Demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa.

Jika kampus dituntut untuk tidak diskriminatif, maka aturan pendataan dan pembinaan tertentu karena ditakutkan terkontaminasi aliran tertentu bisa jadi dinilai diskriminatif tergantung sudut pandang yang digunakan. Penulis melihat mereka yang didata tentu merasa didiskriminasikan karena dirasa dicurigai oleh pihak kampus, kecurigaan kampus tentu akan berdampak kepada lingkungan kampus. Seharusnya menggunakan cadar adalah hak asasi manusia dan bagian dari nilai agama Islam yang harus dijaga di kampus Islam.

Bagi kampus yang mengeluarkan kebijakan merasa kebijakannya merupakan bagian dari antisipasi kemungkinan rusaknya persatuan dan kesatuan bangsa. Namun hal itu harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa pernah didapatkan penyebab hal yang dimaksud di kampusnya, jika tidak bisa dibuktikan maka kampus dinilai paranoid terhadap mahasiswanya. Adakah mahasiswanya yang ditangkap oleh badan anti terorisme karena tindakannya merusak kesatuan bangsa, atau jika dikerucutkan mahasiswi bercadar mana yang terlibat dalam memecah belah bangsa. Jika tidak lantas kepentingan apa yang melatarbelakangi kampus memaksakan pembinaan kepada seluruh mahasiswinya yang bercadar.

Kampus harus bersifat netral dan tidak boleh dikendalikan oleh pengaruh apapun, setidaknya hal ini dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Pendidikan Tinggi. Dalam penjelasan umum bahwa misi utama Pendidikan Tinggi adalah mencari, menemukan, menyebarluaskan, dan menjunjung tinggi kebenaran. Agar misi tersebut dapat diwujudkan, maka Perguruan Tinggi sebagai penyelenggara Pendidikan Tinggi harus bebas dari pengaruh, tekanan, dan kontaminasi apapun seperti kekuatan politik dan/atau kekuatan ekonomi, sehingga Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, dapat dilaksanakan berdasarkan kebebasan akademik dan otonomi keilmuan.

Mencurigai pengguna cadar secara general sebagai pembawa ideologi impor adalah hal yang gegabah, ditambah pendataan dan pembinaan seluruh mahasiswi bercadar dinilai langkah yang kurang bijak. Ditakutkan berdampak kepada mental para mahasiswi bercadar di lingkungan teman-temannya bahwa dirinya bagian dari golongan yang dimungkinkan dimasuki aliran radikal. Sikap kampus kurang tepat karena secara tidak langsung bahaya itu digeneralisir bagi kaum cadar, padahal kampus adalah lingkungan yang menjunjung tinggi kebebasan akademik bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Mengenakan cadar tidak lain untuk kebaikan pengguna dan orang yang melihatnya agar terjaga dari fitrah. Tidak pantas memberikan stigma negatif kepada para pengguna cadar, jangan sampai persepsi buruk terhadap cadar malah menimbulkan ketakutan bagi para muslimah yang awalnya tertarik ingin menggunakannya namun enggan karena sebab kecurigaan. Biarkan mereka menggunakannya sebagai bentuk menjalankan ekspresi keberagaman.

Jika merujuk pada UUD 1945 Pasal 28E Ayat (2) bahwa setiap orang berhak atas kepercayaannya, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Penggunaan cadar dijamin oleh konstitusi Indonesia, tidak berhak didiskriminasi dan direndahkan martabatnya. Sebagaimana Pasal 28I Ayat (2) bahwa setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat dikriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

Tindakan kampus yang terlalu pro-aktif menanggulangi paham radikal dengan mengawasi wanita bercadar justru menimbulkan stigma negatif di tengah masyarakat. Awalnya bermaksud melakukan pembenahan namun dianggap mencoreng nama kampus berlabelkan Islam. Publik berharap kampus Islam seperti UIN mampu mencerminkan lingkungan ilmiah yang bernuansa islami.

Mengacu kepada Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor: Dj.I/255/2007 tentang Tata Tertib Mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam, dalam Pasal Pasal 3 tentang Kewajiban dan Hak Mahasiswa bahwa setiap mahasiswa PTAI berkewajiban: (6) Berpakaian sopan, rapi, bersih dan menutup aurat terutama pada saat kuliah, ujian dan ketika berurusan dengan dosen, karyawan maupun pimpinan. Khusus bagi mahasiswi wajib berbusana muslimah sesuai dengan syari’at Islam.

Begitupun dijelaskan di Pasal 5 tentang Larangan bahwa setiap mahasiswa PTAI dilarang: (1) Memakai kaos oblong/tidak berkerah, celana atau baju yang sobek, sarung dan sandal, topi, rambut panjang dan/atau bercat, anting-anting, kalung, gelang (khusus laki-laki) dan tato dalam mengikuti kegiatan akademik, layanan administrasi dan kegiatan kampus. Khusus bagi mahasiswi dilarang memakai baju dan/atau celana ketat, tembus pandang dan tanpa berjilbab dalam mengikuti kegiatan di kampus.

Sejak dulu UIN dipandang sebagai kampus yang inklusif dan ramah terhadap perbedaan pendapat, ragam pemikiran dan madzhab dari yang paling kanan hingga paling kiri pun dapat kita temukan. Entah mengapa belakangan ini terlihat terbuka terhadap mahasiswanya yang bercorak barat namun alergi terhadap corak keislaman karena dianggap budaya arab dan tidak cocok bagi warga nusantara.

 

Meskipun masalah cadar sudah berulang kali dibahas bahwa penggunaannya bagian dari syariat Islam bukan impor timur tengah. Padahal, di kampusnya dibahas hukum mengenakan cadar, maka hal yang wajar jika ita temukan banyak pengguna cadar di kampus Islam dibandingkan kampus umum lainnya yang tidak membahas seputar hukum cadar.

Hindari sikap standar ganda terhadap agama. Jangan sampai kita anggap pengguna cadar adalah orang yang memposisikan diri ekslusif atau bisa jadi anggapan itu muncul karena sikap egoisme kita ketika berkomunikasi dengan mereka. Curiga bukanlah sikap menghargai keberagaman, alangkah baiknya jika saling menghormati perbedaan khususnya dalam perkara agama yang sama. Waspada memang bentuk sikap kehati-hatian, namun jangan dilandasi dengan kecerobohan, imbasnya bisa mengundang batil secara kebetulan.

*) Badan Eksekutif (BE) Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus (BKLDK) Jawa Barat, S1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement