Senin 19 Feb 2018 06:15 WIB

Belajar Berlapang pada Hamka

Buya Hamka tak memendam kesumat.

Buya Hamka.
Foto: Twicsy.com
Buya Hamka.

Yusuf Maulana *)

Buya Hamka, sosok yang terlahir 110 tahun lalu tepat pada 16 Februari, bukanlah sosok yang alergi dengan perbedaan. Perbedaan yang ada bukan berarti buat dibenarkannya karena hanya bercerai-berailah yang ada. Sebaliknya, Hamka mendorong ada diskusi intensif untuk mencari titik temu dari setiap perbedaan yang ada. Di sinilah perlunya kesiapan ilmu untuk mencari kebenaran. 

Karena tertantang sergahan yang berlebihan Mufti Johor, Sayyid Alwi ibn Tahir al-Haddad, yang merutuki kaoem moeda, kalangan pembaharu pemikiran Islam, Hamka mengangkat pena menjawabnya pada 1958. Tidak ada kesumat meski banyak fakta dipelintir sang mufti. Misalnya, sang mufti menuliskan kelompok sehaluan Hamka, yakni kaoem moeda, penyebab banyaknya Muslimin di Nusantara murtad dan bergabung ke gerakan komunis. Boleh jadi, asupan informasi sang mufti memang keliru, dan pihak yang mensuplainya memercayai itu hingga meneruskannya pada sang mufti.   

Bila lisan dibalas dengan lisan dalam medan perdebatan di mimbar, demikian pula tulisan bergayung sambut tulisan. Ada kemauan untuk mencari titik terang dan sangkaan yang hadir. Jangan sampai umat dibiarkan kebingungan saat para alim bertengkar cakar-cakaran.

Apa yang diperbuat sosok anutan, itu pula yang muda diperbuat para pengikutnya. Buya Hamka tentunya memahami ini, dan mestilah ini jua yang diperbuat banyak alim di negeri mana pun. Sayangnya, ada saja yang kalangan yang mendaku diri “ahli ilmu” mengabaikan ajakan diskusi, sudah begitu mudah menyalurkan hasrat memusuhi lawan pemikirannya lewat tindakan tak beradab: pembakaran karya. Buya Hamka pernah temukan kejadian seperti ini. 

“Di suatu kota di Jawa Timur,” papar Hamka, “timbul satu gerakan bernama ‘Ahlul Hadits’. Kabarnya konon gurunya menganjurkan membakar sekalian buku yang tidak berdasar Quran dan Hadits. Yang tidak berdasar Quran dan Hadits menurut keyakinan guru itu. Sehingga kitab-kitab fiqih hasil karya ulama-ulama besar pun wajib dibakar. Hasil-hasil renungan filsafat dari Quran dan dan Hadits yang timbul dari ijtihad seorang Muslim, pun turut dibakar.” 

Hamka meneruskan kisahnya, “Kabarnya konon dalam satu demonstrasi pembakaran kitab-kitab, senaskah kitab Al-Umm karangan Imam Syafi’i pun turut dibakar. Apatah lagi kalau hanya kitab Tasauf Moderen karangan Hamka, itu sudah nyata menjadi “kayu api” pembakaran.” 

“Kemudian setelah diselidiki, ternyata sebahagian terbesar daripada pengikut guru itu pun adalah orang yang sama sekali tidak pandai membaca kitab bahasa Arab. Dia hanya membaca terjamah dari Quran dan Hadits, yang diterjemahkan oleh orang yang dipandangnya sebagai guru, yang dia sendiri tidak kuasa menyelidiki benar atau tidaknya penterjemahan itu. Dan dia pun tidak sanggup atau tidak mau memperbandingkan di antara gurunya dengan guru lain,” pungkas Hamka dalam artikel berjudul  “Masalah Khilafiyah, dan tentang Taqlid dan Ijtihad” yang dimuat dalam Gema Islam No. 42 Tahun II (15 Oktober 1963).

Mengenaskan tentunya cerita yang disebutkan Buya Hamka tersebut. Kita yang tidak memiliki apa-apa, sudah lancang menilai mereka-mereka yang sudah berbuat banyak bagi umat. Kita tergopoh untuk bisa memenangi pertarungan mazhab, tapi lupa kapasitas diri dan—terlebih lagi—faedah bertarung tadi. Kita memilih menang, tak mau tahu ada hal memerihkan disebaliknya. 

Tak heran, yang terjadi kemudian adalah perhelatan tak berujung  pangkal. Menemukan jawaban atas perbedaan akhirnya tampak begitu teramat pelik. Muasalnya satu: lantaran hasad sudah telanjur di kepala; tak ingin dia yang tampil unggul. Arkian, saat duduk semeja mencari mana pendapat yang benar pun, kadang hanya jadi ajang unjuk keburukan lawan; bukan saling melapangkan pujian ke lawan pemikiran. 

Bilalah benci kadung mendera diri, bahkan saat penyikapan objektif sukar dihadirkan, maka mengurungkan diri dari menilai pun jadi sikap terbaik. Menahan diri agar lisan tidak menerka-nerka dalam kepandiran akibat fakta yang digelapkan.

Kita memang mudah berucap merindui persatuan dan ukhuwah umat ini. Tapi kadang kita juga yang mudah sekali menarik kerinduan itu dan menggantinya dengan benih perpecahan. Soalan semacam ini tidak hanya dalam ranah fatwa agama saja, dalam berpolitik lebih-lebih lagi. Sudahlah rentan beserpihan, aktor politik yang mengusung nilai Islam mestinya jeli kapan merekatkan. Bukan mudah membuat perpecahan yang hanya bikin umat terheran-heran. n

*) Kurator buku lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta; penulis buku "Mufakat Firasat", dan "Nuun, Berjibaku Mencandu Buku".

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement