Senin 22 Jan 2018 07:33 WIB

Semaian Cinta Buya Hamka

Buya Hamka kabur saat diperintah berpoligini oleh ayahandanya.

Buya Hamka saat masih muda.
Foto: Blogspot.com
Buya Hamka saat masih muda.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yusuf Maulana*), 

Merawat cinta itu, sungguh, bukan pekerjaan mudah. Tak seringan ketika kata cinta terlontar. Cinta harus dipelihara dengan segenap pengorbanan. Ada air mata, darah, dan yang teringan berwujud cucuran keringat. Karena itu, cinta yang diputus oleh sepasang kekasih yang telah menempuh perjalanan hidup sering menghajatkan argumen yang bening dan benderang.

Ini wajib bila tak ingin ada syakwasangka dari tetangga. Maka, bisa dimengerti apabila ada sosok beken yang didera hukum tiba-tiba menceraikan istrinya, publik sontak bertanya-tanya. Dalam persepsi sebagian publik, langkah sosok yang mantan pejabat itu sekadar taktik belaka untuk jalankan satu muslihat menyelamatkan harta benda.

Soal mantan pejabat itu, biarlah nanti publik yang mengkritisi. sudah terlampau sering muslihat mengelabui rakyat Republik ini. Yang terang, bersetia ataukah berpisah dalam lakon anak manusia di tengah ujian dunia, sibaklah teladan cinta Buya Hamka. Hamka beberapa waktu berpisah dari keluarga, tepatnya dari orangtuanya, justru karena soal perempuan. Inilah episode Hamka muda yang mesti direnungkan siapa saja. 

Soal perempuan, Hamka yang kala itu masih bergelora selaku anak muda, tidak seturut laku sang ayah, Dr. Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul. Seperti diceritakan Rusydi Hamka dalam Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr Hamka (1981: 1-20), umur 19 tahun sepulang berhaji, Hamka terima bujukan sang paman, Haji Yusuf Amrullah.

Bahwa pernikahan Hamka bisa menjadi obat pelipur lara sang ayah yang kala itu berduka. Duka akibat tiga sebab: pertama, rumah di Padang Panjang hancur akibat gempa; kedua, pelajar-pelajar di Thawalib, anak didiknya, membangkang akibat pengaruh kalangan komunis; ketiga, Belanda mengintip gerak-gerik Haji Rasul. 

Sebenarnya kepulangan Hamka dari berhaji saja sudah menjadi kebahagiaan sang ayahanda. Demikian kata Haji Yusuf. Tapi, sang paman meminta Hamka untuk mengobati kegundahan hati sang ayah. 

“Bagaimana saya mengobatinya?” tanya Hamka, polos. 

“Engkau harus kawin. Buyamu gembira bila mempunyai menantu,” jawab Haji Yusuf. Sang paman lantas memberitahukan bahwa Haji Rasul telah menunangkan Hamka dengan seorang gadis dari kampung tetangga bernama Siti Raham. 

Dua tahun kemudian, pada umur Hamka 21 tahun dan Siti Raham 15 tahun resmilah keduanya selaku suami dan istri. 

Tujuh tahun kemudian, Haji Rasul punya rencana lagi buat Hamka. Dimintanya si anak kesayangan untuk mengikuti jejaknya: berpoligini, menikah lagi. Hamka yang trauma dengan perceraian ayahandanya dengan sang bunda memilih untuk kabur! Ya, ia diam-diam hijrah ke Medan.

Padahal, ketika itu, tahun 1936, Hamka masih punya amanah, yakni mengelola Kulliyatul Muballighin (lembaga pengader ulama di bawah Muhammadiyah) yang didirikannya; apalagi saat hijrah, baru saja mulai tahun ajaran baru. 

Hamka memilih berpindah ke Medan untuk menjadi awak redaksi Pedoman Masyarakat. Ia harus menguatkan telinganya akibat dicibir dianggap tidak tahan hidup miskin di Padang Panjang. Padahal, alasan kepindahannya itu bukan soal periuk dapur, melainkan soal anjuran ayahandanya. 

“Saya terjepit antara pendirian dan ketaatan kepada orangtua,” tutur Hamka kepada muridnya, Agus Hakim, 30 tahun kemudian setelah kejadian, sebagaimana dimuat dalam Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka (1979: 61-62). 

Ayahanda Hamka ketika itu, papar Hamka kepada Hakim, “memaksaku agar aku beristri seorang lagi; hal itu amat berat bagiku akan menerimanya.” 

Hamka tidak menolak syariat bolehnya poligini, tapi ia menarik pelajaran dari pengalaman orangtuanya, khususnya sang bundo kanduang. 

“Ibuku yang menderita akibat ayahku beristri banyak. Nasib kami anak-anak yang kadang-kadang kurang terurus, karena ayah hanya asyik menghabiskan hari dengan tepak dan giliran istri- istrinya.” 

Toh kendati tidak setuju dan merasakan derita akibat poligini Haji Rasul, Hamka tetap hormat pada ayahanda sekaligus gurundanya itu. Di dalam alinea-alinea akhir buku karyanya, Kedudukan Perempuan dalam Islam (1983), Hamka menyitir jasa Haji Rasul dalam soal pembuatan shigat ta’liq. 

“Coba lihat di sini. Bukankah ini satu jasa yang besar dari seorang Ulama Besar terhadap hak perempuan. Supaya terlepas dari aniayaan laki-laki?” Tulis Hamka. 

Sepanjang hayat, Hamka menikah dua kali. Pertama, dengan Siti Raham binti Endah Sutan, yang meninggalkan Buya Hamka di dunia ini lebih dulu pada 1 Januari 1972 (akibat sakit komplikasi yang dideritanya). Kedua, dengan Siti Khadijah, yang dinikahi pada Agustus 1973 atas saran dan anjuran keras putra-putri Buya Hamka, demi melancarkan tugas dakwah sang ayahanda. 

Merawat cinta memang butuh pengorbanan. Karena itu, hendaknya kita tak sembarangan mengumbarnya di pelaminan, apalagi hingga berkali-kali. Tidak pula demi alasan politik lantas pernikahan menjadi dimudahkan begitu saja.

Betapa banyak pernikahan hanya ajang pamer, sandiwara, dan permainan; amat jauh dari kehendak mencapai sakinah dan rahmat sebagaimana mudah diucapkan di depan penghulu.   

Pada Buya Hamka kita bisa becermin betapa makna pernikahan nan sakral itu bukan untuk dimudah-mudahkan demi alasan politik. Mencerai pasangan demi politik menjaga harta dari buruan aparat hukum, misalnya. Atau mencerai pasangan demi mengincar harta calon pasangan barunya.

Atas nama dakwah pula kadang sebagian orang-orang baik bisa tergelincir pada “media” pernikahan kedua, atau selanjutnya, yakni poligini. Bukan poligini yang salah, tapi ada jawaban yang diluputkan tentang kesigapan diri dalam menjaga amanah yang ada—anak, jabatan, kepercayaan, dan lain sebagainya. 

*) Kurator pustaka lawas Perpustakaan Samben Yogyakarta, penulis buku "Mufakat Firasat" dan "Nuun, Berjibaku Mencandu Buku"

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement