Jumat 13 Apr 2012 10:43 WIB

Dialog Mesir-Indonesia: Islam, Negara dan Politik

Workshop Dialog Mesir-Indonesia
Foto: AM. Sidqi
Workshop Dialog Mesir-Indonesia

Institut untuk Perdamaian dan Demokrasi (Institute for Peace and Democracy/IPD) menyelenggarakan workshop Dialog Mesir-Indonesia tentang “Transisi Demokrasi: Islam, Negara, dan Politik” di Serpong, Tangerang, pada 11—12 April 2012. IPD merupakan badan pelaksana (implementing agency) dari Bali Democracy Forum (BDF).

Workshop ini dihadiri oleh 25 (dua puluh lima) peserta. Mereka berasal dari Mesir dan Tunisia, yang terdiri dari wakil badan legislatif, partai-partai politik, media massa, lembaga kajian, serta kalangan akademisi.

Dr. I Ketut Putra Erawan, Direktur Eksekutif IPD, menyatakan bahwa workshop ini bertujuan sebagai wahana berbagi pengalaman (sharing experience) antara Indonesia dan Mesir tentang transisi menuju demokrasi. Sebagaimana diketahui, terdapat kemiripan antara revolusi di Tunisia (Desember 2010) dan Mesir (Januari 2011) yang menggulingkan rezim otoritarian, yang berkuasa lebih dari 30 tahun dengan proses reformasi Indonesia 14 tahun yang lalu.

Workshop ini merupakan bagian dari rangkaian workshop dialog Mesir-Indonesia. Workshop pertama diadakan di Jakarta pada 25—27 Mei 2011, berfokus pada transisi dan konsolidasi demokrasi pasca revolusi. Workshop ke-2 diadakan di Kairo pada 25—26 Juli 2011, bertema penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Sedangkan workshop ke-3 diselenggarakan di Jakarta 20—22 Oktober 2011, membahas lembaga penyelenggara, aturan, dan konflik pasca pemilu.

Workshop kali ini merupakan yang ke-4 dalam rangkaian workshop tersebut. Temanya yaitu “Islam, Negara, dan Politik” yang berfokus pada negara, konstitusionalisme, minoritas, civil society, dan promosi demokrasi di negara-negara mayoritas muslim seperti Mesir, Tunisia, dan Indonesia pasca revolusi.

Dr. Hassan Wirajuda, patron IPD, pada sambutan pembukaannya menyampaikan bahwa terselenggaranya rangkaian workshop ini menegaskan kedekatan antara Indonesia dengan Mesir dan Tunisia bukan karena kedekatan geografis. Kedekatan ini berasal dari simpati yang mendalam dan saling dukung-mendukung dalam kerangka solidaritas umat.

Lebih lanjut, Hassan Wirajuda, yang juga merupakan anggota Dewan Pertimbangan Presiden bidang Hubungan Luar Negeri/Internasional, menyampaikan bahwa akar permasalahan krisis politik di Mesir, Tunisia, dan Indonesia 14 tahun yang lalu disebabkan karena ketimpangan pembangunan ekonomi dan politik. Pengalaman Indonesia (juga di Tunisia dan Mesir) menunjukkan, meskipun pembangunan ekonomi meningkatkan pendapatan per kapita, tetapi tidak bisa menjamin stabilitas politik dan keamanan.

Hal tersebut dikarenakan, absennya political space dan kebebasan. Dengan kata lain, tidak ada pembangunan ekonomi yang bisa berkesinambungan tanpa demokrasi.

Meskipun pada awalnya muncul skeptisme terhadap transisi politik, Mesir baru berhasil menyelenggarakan pemilu legislatif dengan bebas dan adil sejak 50 puluh tahun terakhir. Menariknya, sebagai perlawanan terhadap rezim otoritarian yang berorientasi sekuler dan korupsi yang merajalela; Pemilu di Mesir dan Tunisia melahirkan suatu spektrum politik baru, yakni kebangkitan kelompok Islamis.

Kebangkitan kelompok Islamis ini yang kini tengah menyusun konstitusi baru di Tunisia dan Mesir. Kemudian, muncullah aneka pertanyaan, "Bagaimana mengakomodasi Islam pada kehidupan politik suatu negara dan sebaliknya?" "Apakah Mesir dan Tunisia akan menjadi republik Islam?" "Apakah Islam akan menjadi agama negara?" Atau, "Syariah Islam akan diterapkan kepada semua warga negara?" Isu-isu tersebut yang menjadi perhatian besar bagi negara mayoritas muslim di tengah transisi politik.

Mesir, Tunisia, dan Indonesia memiliki kesamaan sebagai negara dengan mayoritas muslim, nasionalisme yang kuat, dan pertarungan antara kekuatan sekuler dan Islam. Akan tetapi, berbeda dengan Mesir dan Tunisia, Indonesia telah melampaui perdebatan antara Islam, negara, dan politik ini.

Dasar negara Pancasila telah diterima menjadi konsensus bangsa dan Indonesia. Sehingga, membuktikan bahwa demokrasi dan Islam adalah berkesesuaian (compatible) serta saling menguatkan satu sama lain. Hal yang serupa juga terjadi pada Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang mengadopsi nilai-nilai promosi demokrasi, good governance, dan perlindungan HAM, termasuk hak wanita pada Piagam OKI 2006.

Hadir sebagai pembicara dan moderator pada workshop dua hari ini antara lain, KH. Hasyim Muzadi (Sekjen International Conference of Islamic Studies/ICIS), Prof. Dr. Bachtiar Effendi (Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah), Dr. Rizal Sukma (Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies/CSIS), Prof. Fadjrul Falaakh (Anggota Komisi Hukum Nasional/Guru Besar UGM), Yudi Latif, Ph.D (Direktur Reform Institute), Prof. Anis Baswedan (Rektor Univ. Paramadina), Prof. Frans Magnis Suseno (Direktur Pascasarjana STF Driyakara), Prof. Nabillah Lubis (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah), Jakob Lumbantobing (Presiden Institut Leimena), Prof. Bambang Pranowo (Direktur Institute for Peace and Islamic Studies), Prof. Kacung Marijan (Guru Besar FISIP Univ. Airlangga), Dr. Abdul Mu’ti (Dosen IAIN Walisongo Semarang), Ratih Hardjono Falaakh (Sekjen Komunitas Indonesia untuk Demokrasi), Abdillah Toha (Dewan Penasehat Partai Amanat Nasional), dan AM. Fachir (Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Kemlu RI). Selain itu, workshop ini juga dihadiri oleh Ahmed El Kewaisny (Duta Besar Mesir untuk Indonesia) dan Mohammad Antar (Duta Besar Tunisia untuk Indonesia).

AM. Sidqi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement