Selasa 20 Oct 2020 04:52 WIB

Sejarah Jeddah Menjadi Pintu Masuk Jamaah Haji

Pada 647, Jeddah mulai berfungsi sebagai pintu masuk bagi jamaah haji.

Sejarah Jeddah Menjadi Pintu Masuk Jamaah Haji. Foto: Jamaah haji India turun dari kapal di Pelabuhan Jeddah 1940.
Foto: muslimlink.com
Sejarah Jeddah Menjadi Pintu Masuk Jamaah Haji. Foto: Jamaah haji India turun dari kapal di Pelabuhan Jeddah 1940.

REPUBLIKA.CO.ID, JEDDAH -- Jeddah bukanlah kota yang asing bagi umat Islam di Indonesia , khususnya yang pernah menunaikan ibadah haji atau umrah. Ya, karena kota ini merupakan gerbang menuju Tanah Suci. Meski demikian, tak banyak orang yang tahu bahwa Jeddah adalah kota bersejarah yang erat kaitannya dengan perkembangan Islam.

Terletak di wilayah Hijaz Tihamah, pantai Laut Merah, Jeddah kini merupakan kota terbesar kedua di Arab Saudi setelah ibu kota negara, Riyadh. Berpenduduk sekitar 3,5 juta jiwa, kota ini merupakan salah satu pusat kegiatan ekonomi negeri ini. Posisinya yang berada di bibir Laut Merah juga membuatnya menjadi salah satu kota resor utama di Arab Saudi. Dan, karena dekat dengan Laut Merah pula, Jeddah kondang dengan budaya makanan laut dan aktivitas memancingnya. Hal inilah yang membedakan Jeddah dengan kota-kota lainnya di Saudi.

Baca Juga

Secara etimologi, nama kota ini konon berasal dari bahasa Arab, yakni ''jaddah'', yang berarti nenek. Hal ini berkaitan dengan keyakinan bahwa nenek moyang umat manusia, yakni Hawa, dimakamkan di kota ini.

Namun, seorang pengelana Muslim, Ibnu Battutah (1304-1368), menyebut kota ini dalam buku hariannya sebagai ''Jiddah''. Dalam salah satu perjalanannya, Ibnu Battutah memang pernah menyinggahi kota ini.

Lain lagi dengan Kementerian Luar Negeri Inggris dan perwakilan Pemerintah Inggris lainnya lebih suka menyebut kota ini dengan ejaan lama, yakni ''Jedda''. Namun, pada 2007, hal itu berubah dan Pemerintah Inggris mulai menyebut kota ini, ''Jeddah''. Begitu pun dengan dokumen dan peta resmi Arab Saudi yang menyebut kota ini, ''Jeddah''.

Memiliki area kurang lebih 2.400 km persegi dengan panjang garis pantai mencapai lebih dari 80 km, Jeddah dikenal dengan sebutan "The Bride of The Red Sea" (Pengantin Laut Merah). Julukan ini diberikan karena letak geografis Jeddah yang berada di pesisir Laut Merah. Ada pula julukan lain, yakni  "Al-Babul Haramaini" (Pintu Gerbang Dua Tanah Haram), karena Jeddah menjadi pintu masuk ke Tanah Suci Makkah dan Madinah. Bahkan, ada pula yang menyebut Jeddah sebagai ''Kota Tengah Pasar''. Hal ini karena Jeddah merupakan pusat kegiatan ekonomi Saudi.

Beberapa studi arkeologi menyimpulkan, Jeddah sudah dihuni manusia sejak zaman batu. Para arkeolog menemukan beberapa peninggalan berupa artefak dan tulisan ''Thamoudian'' di Wadi Breiman dan Wadi Boib yang terletak di bagian timur dan timur laut Jeddah. Sementara, beberapa sejarawan mengatakan, Jeddah pertama kali dihuni oleh suku Bani Quda'ah pada 115 SM.

Sejarah juga mencatat, pada sekitar 2.500 tahun silam, sudah ada pelabuhan di pesisir Laut Merah, Jeddah. Di dekat pelabuhan itu terdapat sebuah permukiman nelayan kecil. Seiring berjalannya waktu, pelabuhan itu berkembang dan sempat menjadi pusat perdagangan yang didatangi pedagang dari mancanegara, seperti Yaman dan negara-negara Eropa.

Pada 647, Jeddah mulai berfungsi sebagai pintu masuk bagi jamaah haji yang hendak menuju Tanah Suci Makkah. Sejak saat itu, Jeddah menjelma menjadi kota yang memiliki posisi penting bagi pelaksanaan ibadah haji. Pada tahun itu pula, Khalifah Utsman bin Affan menetapkan Jeddah sebagai pelabuhan utama untuk mengakses Kota Makkah melalui jalur laut. Saat itu, Jeddah masih dikenal dengan sebutan Balad al-Qanasil.

Dalam buku catatan perjalanannya, Ibnu Battutah dan Ibnu Jubayr mengatakan, Jeddah merupakan kota yang indah. Banyak bangunan megah dan kebanyakan bergaya arsitektur Persia.

Sebelumnya, al-Maqdisi al-Bishari, penulis buku Ahsan al-Taqaseem fe Ma'rifat al-Aqaleem, juga mengulas tentang Jeddah dalam karya tulisnya itu. Menurut penulis yang wafat pada 900 M ini, Jeddah merupakan kota yang aman dan penuh dengan para pedagang serta orang kaya. Jeddah, menurutnya, juga merupakan ladang harta bagi Makkah dan tempat tinggal bagi orang Yaman dan Mesir.

"Ada masjid di sana. Namun, masyarakat sulit mendapatkan air meskipun kota ini memiliki banyak penampungan air. Masyarakat mendapatkan air dari tempat yang sangat jauh. Mayoritas penduduk Jeddah berasal dari kawasan Persia. Kota ini memiliki lorong-lorong lurus yang kondisinya terawat dengan baik. Sayangnya, kota ini sangat panas,'' tulis al-Bishari dalam bukunya.

Dari sisi pemerintahan, Jeddah selama beberapa periode dipimpin oleh penguasa Muslim, mulai dari Dinasti Umayyah, Abbasiyah, Ayyubiyah, hingga Mamluk. Di antara beberapa dinasti tersebut, Mamluk merupakan dinasti yang paling lama menguasai Jeddah. Di bawah kekuasaan Dinasti Mamluk, posisi Jeddah kian mapan sebagai jalur perdagangan dan haji.  Dinasti ini memiliki komitmen yang kuat untuk menjaga Tanah Suci dan dua masjid yang berada di dalamnya, yakni Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement