Selasa 27 Oct 2020 10:03 WIB

Menara Masjid: Dari Seruan Adzan Hingga Arsitektur Islam

Menara masjid belum hadir di masa Nabi Muhammad SAW.

Menara Masjid: Dari Seruan Adzan Hingga Arsitektur Islam. Foto siluet Islamic Center NTB dengan menara 99 Asma’ul Husna atau minaret masjid setinggi 99 meter berdiri megah di Mataram, NTB.
Foto: Antara/Ahmad Subaidi
Menara Masjid: Dari Seruan Adzan Hingga Arsitektur Islam. Foto siluet Islamic Center NTB dengan menara 99 Asma’ul Husna atau minaret masjid setinggi 99 meter berdiri megah di Mataram, NTB.

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu ciri yang melekat pada tempat ibadah umat Islam, masjid adalah keberadaan menara masjid. Menara berasal dari bahasa Arab, manara, yang berarti mercusuar atau menara suar, dan midhana, yang berarti “tempat menyerukan azan”. Menara biasanya mengacu pada sebuah struktur bangunan yang tinggi menjulang dan terletak di suatu sudut masjid.

Di menara diletakkan pengeras suara, yang dipakai untuk menyerukan azan oleh muazin ketika waktu shalat tiba. Dari kejauhan, menara adalah penanda masjid pertama yang bisa dilihat orang. Di berbagai tempat di penjuru dunia Islam, menara masjid memiliki keunikannya sendiri, menyesuaikan dengan gaya arsitektur lokal dan fungsi-fungsi tambahan yang dilekatkan pada menara.

Baca Juga

Menara masjid belum hadir di masa Nabi Muhammad saw. Penyeru azan pertama dalam sejarah Islam, Bilal bin Rabah, naik ke atas atap rumah guna menyerukan panggilan untuk shalat. Ini dimungkinkan oleh kondisi atap rumah masyarakat Arab kala itu yang landai, beratap rata dan kukuh karena terbuat dari tanah liat.

Di dalam riwayat lain dikisahkan bahwa Bilal juga naik ke atas dinding masjid untuk menyerukan azan. Dari tempat yang tinggi, suara azan dibawa oleh angin hingga mencapai kaum Muslim yang berada di sekitaran area masjid. Bangunan yang tinggi ini, baik di atas atap rumah maupun dinding masjid, adalah versi awal dari menara masjid di masa sekarang yang sudah jauh lebih besar dan tinggi.

 

Kemunculan menara dalam bentuk yang lebih tinggi dimulai sejak masa Dinasti Umayyah di Suriah, seiring dengan berkembangnya agama Islam di luar Jazirah Arab. Inspirasinya berasal dari tradisi menara tinggi yang sudah ada di budaya dan agama pra-Islam.

Sejumlah gereja dialihfungsikan sebagai masjid, termasuk gereja Romawi di Damaskus, Suriah. Di sana terdapat sebuah kuil Jupiter, yang lalu digunakan sebagai gereja, dan akhirnya, ketika Islam masuk ke sana sekitar awal abad ke-8, dipakai sebagai masjid.

Beberapa menara gereja Romawi kuno dijadikan sebagai menara masjid. Penguasa Umayyah juga mendirikan menara lainnya. Dari sinilah kemudian menara berkembang menjadi salah satu bagian penting dalam pendirian masjid di kawasan Dunia Arab dan Afrika Utara.

Menara masjid tak hanya memiliki nilai fungsional. Pembangunan fisiknya menunjukkan gabungan antara ilmu teknik dan seni arsitektur. Menara umumnya berbentuk tabung. Tapi di sejumlah tempat ada juga yang berbentuk segi empat. Umumnya menara dibuat dari batu, beton atau bata, dan untuk mencapai bagian atasnya dibuatlah tangga yang memutar.

Menara masjid yang kerap disebut sebagai menara masjid pertama berasal dari sekitar tahun 45 H, atau sekitar tahun 665-666 M. Pada masa kekuasaan Mu’awiyah bin Abi Sofyan, tepatnya pada tahun 53 H atau 673 M, menara masjid didirikan di Masjid ‘Amr bin al-Ash di Fustat, Mesir.

Adapun menara masjid tertua di dunia Islam yang masih bisa dilihat hingga kini ialah sebuah menara masjid yang dibangun oleh Khalifah al-Walid di Damaskus, Suriah, berasal dari awal abad ke-8. Sang khalifah tak hanya mendirikan sebuah struktur bangunan yang berguna untuk memudahkan kaum Muslim mengetahui masuknya waktu shalat sekaligus lokasi masjid, tapi juga memberinya nuansa keindahan.

Sejumlah seniman dari Yunani ambil bagian untuk mempercantik mosaik masjid yang menjadi bangunan utamanya, dan tentunya juga menara masjidnya itu sendiri. Para pengrajin yang membangun masjid ini berasal dari India dan Persia, dua wilayah yang dikenal karena tradisi seninya.

Kebangkitan politik Islam di kawasan Dunia Arab dan sekitarnya tak hanya tampak dalam bentuk kemunculan dinasti-dinasti Islam penting di kawasan itu. Ini tampak juga dalam bentuk bagaimana menara masjid kemudian dibangun. Bila dulunya menara masjid hanya satu, belakangan sejumlah masjid memiliki dua atau lebih menara.

Salah satu masjid yang terkenal karena menaranya yang tak hanya tinggi dan ramping tapi juga banyak ialah menara Masjid Biru di Istanbul, Turki. Di masjid yang juga dikenal sebagai Masjid Sultan Ahmed ini terdapat enam menara, dan, bersama dengan kubah-kubahnya yang indah dianggap sebagai salah satu warisan arsitektur yang paling indah dalam dunia Islam.

Pembangunan enam menara ini sempat menimbulkan pro dan kontra. Sebabnya ialah karena kala itu hanya Masjidil Haram di Makkah yang memiliki enam menara. Sang Sultan dikritik karena masjid di Istanbul berusaha menyamai masjid di tempat yang paling disucikan oleh umat Islam. Agar perselisihan tidak semakin tajam, Sultan Ahmed I lalu mendirikan satu menara lainnya di Masjidil Haram sehingga Masjidil Haram pun akhirnya memiliki tujuh menara.

Sebagian menara masjid berusia lama, tapi ada juga yang beralih fungsi ketika kekuasaan berganti. Ketika pasukan Kristen menguasai Andalusia pada abad ke-14, menara masjid di Seville, kota terpenting di wilayah Andalusia, dijadikan sebagai menara lonceng.

Dewasa ini, seiring dengan perkembangan Islam di Eropa, terjadi pasang surut terkait pendirian menara masjid. Di kota dengan aktivitas pelabuhan tersibuk di Eropa, Rotterdam (Belanda), sejak 2010 berdiri sebuah masjid besar bernama Masjid Essalam. Masjid ini merupakan masjid terbesar di Negeri Kincir Angin, sanggup menampung sekitar 1.500 jamaah. Pembangunannya tidaklah mudah karena sempat ditentang oleh kalangan anti-Islam di Belanda.

Namun, pembangunannya pada akhirnya tetap terlaksana. Selain kapasitasnya yang tergolong besar untuk ukuran umat Islam yang minoritas di Belanda, ciri khas lainnya dari masjid ini ialah dua menara indahnya dengan tinggi masing-masing 50 meter. Dari kejauhan kedua menara ini menyimbolkan semakin menguatnya posisi kaum Muslim di Belanda yang multikultural.

Namun, kaum Muslim di Swiss tidak seberuntung kaum Muslim di Belanda. Pada 2011, lewat sebuah referendum, sekitar 57 persen masyarakat Swiss menyetujui larangan pembangunan menara masjid. Alasan yang kerap dipakai adalah kekhawatiran pada penyebaran paham Islam radikal di Swiss, sesuatu yang bagi sementara kalangan sulit diterima, mengingat masyarakat Muslim Swiss sebenarnya tergolong moderat.

Selain itu, kaum Muslim merupakan salah satu elemen terpenting dalam struktur masyarakat Swiss. Secara statistik, Islam adalah agama dengan penganut nomor dua terbanyak di Swiss, di bawah Kristen).

Azhar Rasyid. Penilik Sejarah Islam

Sumber: Majalah SM Edisi 20 Tahun 2019

https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/10/23/menara-masjid-dari-seruan-azan-hingga-arsitektur-islam/

 

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement