Jumat 16 Apr 2021 14:17 WIB

Anak yang Lahir dari Rahim Titipan, Apa Hukumnya?

Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum anak lahir dari rahim titipan

Rep: Imas Damayanti/ Red: A.Syalaby Ichsan
Hasil USG
Foto: Kennedy News and Media
Hasil USG

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam Islam, setiap keturunan memiliki hak dan kewajibannya tersendiri. Untuk itu, perkara reproduksi pun tak terlepas dari jangkauan pembahasan fikih oleh para ulama. Salah satunya adalah tentang hukum anak yang lahir dari rahim titipan.

Setidaknya mengenai hukum rahim titipan, para ulama saling berselisih pendapat. Misalnya seperti yang diungkapkan oleh ulama terkemuka Syekh Yusuf al-Qaradhawi yang semula mengharamkan hukum anak yang lahir dari rahim titipan. Alasannya adalah proses reproduksi dari air mani laki-laki yang membuahi rahim istri orang lain dinilai sangat keliru.

Sebab, keduanya dianggap tidak memiliki hubungan dengan anak yang dikandung itu. Keduanya pun tidak memiliki hak waris-mewarisi. Ibunya yang asli adalah yang memberikan embrio dengan air mani dari suami aslinya. Untuk itu, dia berpendapat bahwa hukumnya haram secara mutlak karena ia memiliki satu kesamaan dengan zina, yaitu mengakibatkan percampuran nasab.

Syekh Qaradhawi berpendapat, syariat Islam tidak mengakui tujuan tindakan tersebut sesuai dengan hukum-hukum syariat. Namun, belakangan, Syekh Yusuf al-Qaradhawi justru meralat pernyataannya yang kemudian memperbolehkan perbuatan tersebut. Dalam tulisannya berjudul “Dhawabuth wa Ahkam”, Syekh Yusuf menyandarkan pendapat yang membolehkannya setelah sempat memastikan keharamannya.

Alasan pembolehan itu adalah karena janin yang tumbuh dari air mani orang lain maka ia akan menjadi anak dari pria yang memiliki air mani tersebut. Sedangkan, istrinya yang tidak mengandung dan tidak melahirkan itulah ibu janin yang sebenarnya, dan ibu yang mengandung tidak disebut sebagai ibu kandung.

Endy Astiwara dalam buku 'Fikih Kedokteran Kontemporer' menjelaskan, Syekh Qaradhawi  telah mencampuradukkan hukum serta perkara-perkara halal dan haram tanpa didasari dengan keterangan. Pendapatnya pun dinilai berseberangan dengan nas Alquran dan pokok-pokok syariat.

Sebagai kritik terhadap pendapat Syekh Qaradhawi, Syekh Abdullah bin Zaid merasa perlu menjelaskan pembuahan dalam kedua cara tersebut benar-benar ilegal. Pertama, bahwa pembuahan dengan air mani laki-laki asing tanpa perantara. Kedua, adalah tentang implantasi embrio ke dalam rahim wanita lain.

Dia menjelaskan, kedua cara tersebut dinilai sama-sama ilegal. Sebab inti dari kedua cara tersebut adalah memindahkan sperma laki-laki selain suaminya ke dalam rahim wanita yang bukan istrinya. Padahal, wanita tersebut wajib memelihara dirinya dari tercampur oleh air mani laki-laki yang bukan suaminya.

Abdullah bin Zaid menegaskan, ketetapan hukum rahim titipan oleh Syekh Yusuf al-Qaradhawi didasari pertimbangan qiyas yang lemah dan keliru. Ia menjelaskan, pokok yang batil tidak bisa dijadikan dasar qiyas karena qiyas terhadap hal yang tidak benar akan menghasilkan hukum yang tidak benar pula.

Padahal, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Man ahdatsa fi amrina hadza maa laisa minhu fahuwa raddun.” Yang artinya, “Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya maka ia ditolak.”

Abdullah bin Zaid juga menambahkan, sebelum ada pernyataan bulat mengenai ketetapan hukum rahim titipan oleh Syekh Yusuf al-Qaradhawi, belum ada satu pun ulama yang memperbolehkan rahim titipan. Sedangkan, rahim titipan dalam realitanya dinilai sebagai percampuran nasab kepada orang yang tidak memiliki hubungan sah.

Untuk itu, pembuahan dengan cara demikian dinilai memiliki kesamaan dengan zina atau pada satu hal, yakni percampuran nasab ilegal. Untuk itu, dia menekankan bahwa hukum rahim titipan adalah haram dan merusak syariat. N Wallahu’alam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement