Jumat 23 Apr 2021 05:50 WIB

Jangan Pernah Bohongi Anak Sedikit Pun, Ini Alasannya 

Rasulullah SAW mengajarkan jangan berbohong ke anak meski sedikit pun

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Nashih Nashrullah
Rasulullah SAW mengajarkan jangan berbohong ke anak meski sedikit pun. Ilustrasi nasihat orang tua ke anak/
Foto: Republika/Musiron
Rasulullah SAW mengajarkan jangan berbohong ke anak meski sedikit pun. Ilustrasi nasihat orang tua ke anak/

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Mengajarkan berbohong kepada anak adalah kesalahan besar yang dilakukan para orang tua. Mereka tidak sadar pengaruh yang ditimbulkan akibat ajaran yang tidak baik itu.

Kalau berbohong dengan dalih anak-anak itu masih tidak mengerti atau paham, ini tidak benar. Sebab anak-anak dapat merasakan dan dalam proses pertumbuhannya akan terpengaruh lalu meniru.

Dalam riwayat Abdullah bin Amir diceritakan tentang dirinya yang dipanggil sang ibu. Saat itu Rasulullah SAW sedang duduk di rumah mereka. Ibu Ibnu Amir berkata, "Kemarilah,  aku akan memberimu sesuatu."

Lalu Rasulullah bertanya soal apa yang hendak diberikan kepada anaknya itu. Lalu ibu Ibnu Amir menjawab, "Saya bermaksud memberinya beberapa kurma." Kemudian Rasulullah SAW bersabda, "Jika Anda tidak memberinya apa-apa, kebohongan akan dicatat."

Dalam kitab Aun al-Ma'bud dijelaskan, hadits itu menunjukkan bahwa apa yang disampaikan kepada anak yang sedang menangis agar tangisannya berhenti, misalnya dengan berbohong akan memberinya sesuatu atau menakutinya dengan sesuatu yang dilarang, maka itu termasuk kebohongan.

Mungkin banyak dari kita yang paham tentang dasar-dasar mendidik anak dan ajaran-ajaran luhur yang perlu ditanamkan dalam diri anak. Namun, lebih dari itu, yang paling penting adalah menanamkan ajaran luhur tersebut di dalam diri orang tua karena justru inilah yang tersulit dilakukan.

Dengan kata lain, setiap orang tua haruslah menjadi panutan bagi anak-anaknya. Inilah makna yang mendalam dari diutusnya Nabi Muhammad SAW, menjadi panutan. Karena bagaimanapun, seorang pendidik, baik itu orang tua di rumah, guru di sekolah, atau ulama di majelisnya, berada di bawah pengawasan orang-orang yang dididiknya.

Setiap perbuatan yang dilakukan orang tua, guru, atau pendakwah, adalah pendidikan yang sebenarnya untuk anak yang dididiknya. Karena itu, seorang anak akan menirunya secara tidak sadar, meski bertentangan dengan perkataan orang tua.

Allah berfirman: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ 

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ

"Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan." (QS As Shaff ayat 2-3)

Beberapa orang menganggap itu masalah kecil karena hanya melakukan kebohongan kecil. Padahal, anak-anak suka meniru dengan sendirinya sehingga mereka tumbuh di atas perbuatan-perbuatan tercela itu.

Parahnya lagi, jika orang tua terus mengajarkan kebohongan, anaknya kehilangan kepercayaan kepada orang tua sehingga sering melakukan perbuatan tercela. Misalnya, tidak menepati janji. Jika tali kepercayaan antara orang tua dan anak rusak, sulit untuk memperbaikinya.

Apa yang dicontohkan Imam Bukhari dalam meriwayatkan hadits bisa menjadi pelajaran bagi kita semua khususnya para orang tua. Suatu kali, dia datang menemui seorang syekh untuk mengambil hadits darinya. Ketika sedang duduk bersamanya, ada seorang anak dari kejauhan. 

Syekh tersebut mengangkat tangannya sehingga anak itu datang karena berpikir akan menerima sesuatu. Syekh itu telah melakukan tipu muslihat seolah ingin memberi sesuatu padahal tidak ada yang diberikan. Imam Bukhari pun meninggalkan syekh itu dan tidak mengambil hadits darinya, karena kebohongan yang menurut kita mungkin kecil.

Sumber: islamweb

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement