Senin 20 Apr 2020 12:13 WIB

Adab Menyampaikan Nasihat

Islam memandang penting ihwal nasihat dan adab menyampaikannya

Menyampaikan nasihat merupakan anjuran agama (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Menyampaikan nasihat merupakan anjuran agama (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam memandang penting ihwal nasihat-menasihati. Memberi nasihat dapat memantapkan rasa persaudaraan di antara umat Islam. Apalagi, bila nasihat yang disampaikan semata-mata hanya karena Allah SWT. Untaian kata yang muncul pun sebagai wujud kasih sayang seorang Mukmin terhadap saudaranya.

Tak heran jika Nabi Muhammad SAW menjadikan nasihat sebagai tiang agama sekaligus barometer dalam melaksanakan agama. Tamim ad-Dari RA meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda, "Agama itu nasihat" (HR Bukhari dan Muslim).

Baca Juga

Rasulullah SAW senantiasa memberikan nasihat dan wasiat kepada para sahabat dan umatnya secara umum. Syekh Mahmud al-Mishri dalam Ensiklopedi Akhlak Muhammad SAW, mengungkapkan, secara bahasa nasihat diambil dari kata an-nashihah. Ibnu Manzur menjelaskan, an-Nashih berarti 'sesuatu yang murni'.

Adapun an-nush artinya 'ikhlas dan jujur di dalam musyawarah dan amal.' Menurut Ibnu Atsir, nasihat adalah kata yang dipakai untuk mengungkapkan keinginan yang baik bagi orang yang dinasihati.

"Nasihat adalah mengajak orang lain untuk melaksanakan sesuatu yang mengandung kemaslahatan dan melarang mengerjakan sesuatu yang mengandung kerusakan," papar ahli bahasa dari abad ke-11, Abu Bakr Abdul Qahir ibnu Abdur-Rahman al-Jurjan.

Adab menasihati

Suatu nasihat haruslah disampaikan sebagai bentuk rasa cinta yang murni kepada orang lain. Tentunya, lewat pesan-pesan yang mengantarkan orang lain menuju kepada kemaslahatan. Menurut Dr Muhammad al-Hasyimi, sekecil apapun nasihat yang disampikan bernilai mulia di hadapan Allah.

Dalam sebuah hadis, Nabi SAW bersabda, "Agama adalah ketulusan (nashihah)."

Para sahabat bertanya, "Kepada siapa?"

Beliau bersabda, "Kepada Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin Muslim dan masyarakat umum" (HR Muslim). 

Menurut Syekh al-Mishri, memberi nasihat termasuk sifat para nabi. Sebab, para nabi tak pernah bosan untuk memberi nasihat kepada kaumnya untuk beriman.

Agar saat menyampaikan nasihat menuju kebenaran dapat tersampaikan dengan baik, seorang Muslim perlu memperhatikan etika memberi nasihat. Apa saja itu?

Syekh al-Mishri mengungkapkan ada beberapa etika dalam memberi nasihat kepada orang lain:

Pertama, niat tulus hanya karena Allah SWT.  Pemberi nasihat hanya mengharapkan ridha Allah dan balasan di akhirat. Ia menyampaikan nasihat bukan karena ingin mendapatkan keuntungan duniawi, riya (ingin dipuji orang lain) dan sum'ah (menceritakan kebaikannya kepada orang lain).

Kedua, berdasarkan ilmu. Memberi nasihat dengan ilmu merupakan sebuah keharusan dalam arti menguasai materi yang akan dinasihatkan. Tanpa didasari ilmu, bisa jadi seseorang akan menasihati dengan hal-hal yang munkar dan justru melarang yang makruf (baik).

Ketiga, berhias diri dengan akhlak lemah lembut. Pemberi nasihat wajib memiliki akhlak yang lemah lembut dan santun dalam menyampaikan nasihat. Hal ini diperintahkan Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Harun AS saat berdakwah kepada Firaun. "Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Firaun) dengan kata-kata yang lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut" (QS Thaha:44).

Keempat, memilih cara yang tepat. Cara memberi nasihat berbeda-beda sesuai dengan situasi, kondisi dan kepribadian seseorang. Dalam banyak keadaan, manusia justru membutuhkan nasihat melalui keteladanandari seorang figur. Menasihati anak-anak berbeda dengan menasihati orang dewasa.

Kelima, tidak bertujuan mencela atau menyebarkan keburukan. Keenam, nasihat meliputi urusan agama dan dunia. Ketujuh, menasihati secara rahasia. Kedelapan, si pemberi nasihat wajib bersabar bila orang itu tidak bersedia menerima nasihatnya.

Nasihat yang utama

Syekh al-Mishiri, mengingatkan bahwa nasihat yang paling utama adalah nasihat untuk diri sendiri.  ''Dia harus menasihati diri sendiri sebelum menasihati orang lain,'' tuturnya.  Mereka yang menipu dirinya sendiri, tidak bisa diharapkan dapat menasihati orang lain. Allah SWT mencela orang-orang yang memerintahkan kebaikan kepada orang lain, namun dia sendiri tidak melaksanakannya.

''Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.'' (QS ash Shaff: 2-3).

Nasihat yang disampaikan dengan tulus, papar Syekh al-Mishri, dapat berpengaruh besar terhadap diri seseorang dan mendorongnya untuk melaksanakan nasihat yang diterimanya. Pada akhirnya, nasihat atau wasiat akan menjadi bagian takwa, mengingat kebenaran dan berpikir.

sumber : Hikmah Republika oleh Yusuf Assidiq
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement