Rabu 16 Dec 2020 21:13 WIB

Sabun dan Shampoo, Temuan Islam yang Bermanfaat untuk Dunia 

Sabun dan shampoo pertama kali diperkenalkan oleh umat Islam

Rep: Siwi Tri Puji B/ Red: Nashih Nashrullah
Sabun dan shampoo pertama kali diperkenalkan oleh umat Islam, Sabun batangan (ilustrasi).
Foto: historysoap.com
Sabun dan shampoo pertama kali diperkenalkan oleh umat Islam, Sabun batangan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Harian The Independent yang terbit di Inggris menyebut, mencuci dan mandi adalah perintah dasar dalam Islam, "Hal yang membuat mereka menyempurnakan resep sabun yang masih kita gunakan sampai sekarang." Orang Mesir kuno memang memiliki sejenis sabun, seperti halnya orang Romawi, tapi menggunakannya lebih sebagai pomade. Orang-orang Arab lah yang menggabungkan minyak nabati dengan natrium hidroksida dan minyak aromatik menjadi sabun.

Pada zaman kejayaan Islam, pembuatan sabun menjadi industri yang mapan. Pusatnya antara lain di Nablus, Fez, Damaskus, dan Aleppo. Resep untuk pembuatan sabun dijelaskan oleh Muhammad ibn Zakariya al-Razi (854–925), yang juga memberikan resep untuk memproduksi gliserin dari minyak zaitun. Di Timur Tengah, sabun diproduksi dari interaksi lemak dari minyak dengan alkali. Di Suriah, sabun diproduksi menggunakan minyak zaitun bersama dengan alkali dan jeruk nipis. Sabun diekspor dari Suriah ke bagian lain dunia Islam dan ke Eropa.

Baca Juga

Sebuah dokumen Islam abad ke-12 menggambarkan proses produksi sabun. Di dalamnya disebutkan bahan utama, alkali, yang kemudian menjadi penting untuk kimia modern. Kata alkali sendiri berasal dari bahasa Arab alqaly yang berarti abu.

Shampoo diperkenalkan ke Inggris oleh seorang Muslim yang membuka toko di pinggir laut Brighton pada 1759. Ia kemudian dipekerjakan sebagai tukang cuci rambut Raja George IV dan William IV.

Omong-omong soal sabun untuk bersih-bersih badan, Eropa memang baru belakangan mengenalnya. Bahkan, mandi dengan sabun pernah dilarang institusi gereja karena dianggap seperti cara hedonistik dan kaum kafir dari kekaisaran lama. Banyak orang mengikuti saran ini, dan kurangnya kebersihan dan sanitasi saat itu dianggap sebagai kontributor utama penyebaran wabah pes sepanjang 1348-1350 dan penyakit mematikan lainnya.

Banyak yang mengklaim bahwa titik balik penggunaan sabun di benua ini terjadi pada pertengahan abad ke-19. Pada awal Perang Krimea (1854-1857), sebagian besar kematian yang diderita tentara Inggris berasal dari penyakit infeksi, bukan akibat peperangan. Setelah Florence Nightingale memperkenalkan higiene dan sanitasi di rumah sakit lapangan Inggris pada akhir 1854, angka kematian menurun. 

Hal yang sama diadopsi pasukan Amerika selama Perang Sipil (1861-1865). Mereka melakukan reformasi higienis di kalangan prajurit, antara lain dengan membiasakan cuci tangan menggunakan sabun dan mandi teratur. Kebiasaan menggunakan sabun selama pertempuran dibawa ke rumah mereka setelah perang selesai.

Hingga kini, mencuci tangan dengan sabun masih disarankan oleh otoritas kesehatan Amerika Serikat untuk mencegah penularan penyakit infeksi. Atas pertimbangan kepraktisan, cuci tangan 'kering' dengan hand sanitizer juga diperkenalkan, terutama di kalangan medis. 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement