Kamis 03 Sep 2020 11:23 WIB

Dua Golongan yang Dimusuhi Allah di Hari Kiamat

Allah memusuhi orang yang tidak membayar upah pekerja.

Dua Golongan yang Dimusuhi Allah di Hari Kiamat
Dua Golongan yang Dimusuhi Allah di Hari Kiamat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Orang yang berdusta mengatasnamakan Allah, akan memperoleh kerugian, baik di dunia maupun di akhirat. Sekalipun andai mereka mendapatkan kesenangan dunia, tapi di akhirat kelak akan mendapat siksaan yang amat pedih. Firman Allah SWT:

قُلْ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ (٦٩) مَتَاعٌ فِي الدُّنْيَا ثُمَّ إِلَيْنَا مَرْجِعُهُمْ ثُمَّ نُذِيقُهُمُ الْعَذَابَ الشَّدِيدَ بِمَا كَانُوا يَكْفُرُونَ. (يونس: 69-70)

Baca Juga

“Katakanlah: “Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah, mereka tidak akan beruntung”. (Bagi mereka) kesenangan (sementara) di dunia, kemudian kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian Kami rasakan (timpakan) kepada mereka siksaan yang berat, disebabkan kekafiran mereka” (Qs Yunus: 69-70).

Menjual orang (merdeka) lalu memakan hasil penjualannya (human trafficking)

Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah dalam bentuk  terbaik dan sempurna (ahsanu taqwim: Qs At-Tiin: 4), dimuliakan oleh-Nya, dan miliki kelebihan dibandingkan makhluk lainnya (Qs Al-Isra’: 70). Sekalipun secara sosial, manusia pada masa pra dan awal kehadiran Islam mengenal dua  status  sosial masyarakat, yaitu orang yang merdeka (al-hur) dan budak sahaya (al-‘abd).

Jika dikaji saksama, semangat Islam sejak awal hadirnya sangat menentang sistem perbudakan dan menghapusnya secara bertahap. Terbukti dalam Islam, terdapat beberapa strategi membebaskan umat manusia dari sistem perbudakan, antara lain: dalam kasus tawanan perang, seorang tawanan dapat dibebaskan ketika mau dan sanggup membayar upeti, atau mengajarkan baca tulis, atau memerdekakan budak Muslim.

Juga dalam kasus pembunuhan disengaja (al-qatlu al-‘amdu) yang mendapatkan ampunan dari keluarga korban, atau  pembunuhan  semi  sengaja (al-qatlu  syibhu  al-‘amdi), bagi pelakunya diwajibkan membayar kaffarat (ganti)  sebagai  bentuk  hukuman  dan pertaubatannya  pada Allah berupa; memberi makan 60 fakir miskin, atau memerdekakan  budak  mukmin. 

Inilah semangat Islam untuk menghapuskan sistem perbudakan  secara  bertahap hinga berlanjut dengan penegasan al-Qur’an, bahwa Islam tidak mengenal kasta, pun kemulian seseorang bukan karena status sosialnya, tapi karena kualitas keimanan dan ketakwaannya (Qs Al-Hujurat: 13).

Konsekuensi  Islam  memuliakan  manusia adalah larangan merendahkan martabatnya dan menyamakannya seperti hewan, atau komoditas (barang dagangan) untuk diperjual belikan. Maka spirit Hadits di atas adalah larangan  merendahkan harkat dan martabat manusia, terlebih lagi menjadikan manusia  sebagai komoditas oleh siapapun, dengan tujuan apapun juga, yang saat ini dikenal dengan human trafficking (perdagangan manusia).

Hal ini selaras dengan komentar Ibnu Abidin (madzhab Hanafi), bahwa; ” Anak Adam (manusia) sangat dimuliakan oleh syariat Islam, sekalipun ia kafir (kafir dzimmi). Akad penjualan manusia serta menyamakannya dengan komoditas  adalah bentuk penistaan dan perendahan martabatnya.” Terlebih lagi dengan  tujuan untuk memperjual belikan organ tubuh seperti kornea mata dan ginjal.  Terkait hal ini, syariat  Islam  tegas mengharamkan jual beli organ tubuh  manusia (al-a’dha’ al-jism al-basyariyah), pun orang yang menghilangkan satu  nyawa manusia, disamakan  dengan membunuh seluruh umat manusia (Qs Al-Ma’idah: 32).

 

 

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement