Rabu 02 Dec 2020 01:44 WIB

Perempuan Gaza Melawan Dominasi Pria dalam Bekerja

Masyarakat di Gaza mulai menerima perubahan peran perempuan karena alasan ekonomi

Rep: Dwina Agustin/ Red: Christiyaningsih
Salma al-Najjar (15 tahun), petugas pom bensin perempuan di Jalur Gaza. Dia adalah petugas pom bensi perempuan pertama di Gaza.
Foto: Al Arabiya
Salma al-Najjar (15 tahun), petugas pom bensin perempuan di Jalur Gaza. Dia adalah petugas pom bensi perempuan pertama di Gaza.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Biro Pusat Statistik Palestina menyatakan tingkat pengangguran di Jalur Gaza mencapai 45,5 persen pada kuartal pertama 2020. Untuk perempuan, tingkat pengangguran naik menjadi 62,1 persen di kuartal satu, naik dari 57,3 persen di kuartal terakhir 2019.

Lebih dari satu juta orang Palestina di Gaza hidup dalam kemiskinan setelah pengepungan 13 tahun yang dilakukan oleh Israel. Sebuah laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pekan lalu mengatakan blokade Israel telah merugikan kantong Palestina lebih dari 16 miliar dolar AS.

Baca Juga

Jalur Gaza juga menghadapi lonjakan tiba-tiba dalam tingkat pengangguran karena pembatasan Covid-19 untuk mencegah penyebaran pandemi. Sektor perawatan kesehatan Gaza juga tidak siap untuk menangani wabah karena blokade.

Kondisi tersebut membuat Naela Abu Jibba termasuk di antara ratusan wanita di Gaza yang tidak dapat menemukan pekerjaan dalam ekonomi yang di ambang kehancuran. Ketimbang berserah tanpa usaha, perempuan berusia 39 tahun ini memutuskan untuk membuatnya sendiri. Dia memilih menjadi sopir taksi wanita pertama di Jalur Gaza dengan syarat hanya membawa penumpang wanita ke tujuan di dalam daerah kantong yang terkepung.

Abu Jibba baru-baru ini lulus dari sebuah universitas di Gaza dan berharap mendapatkan pekerjaan di kantor. Namun, dengan kondisi Jalur Gaza yang diblokade oleh Israel dan Mesir, ekonomi sedang compang-camping dan menemukan pekerjaan adalah perjuangan.

“Saya menikah di usia muda dan setelah anak-anak saya besar, saya masuk universitas untuk belajar ilmu sosial guna mencari pekerjaan dengan ijazahnya,” kata Abu Jibba dikutip dari Aljazirah.

Ibu dari lima anak ini tidak menemukan pekerjaan dengan ijazah yang didapatkannya. Daripada menganggur, dia mencoba menyalurkan hobinya mengemudikan mobil sebagai mata pencaharian.

"Sejak saya masih muda, saya biasa mengemudikan mobil ayah saya dan setelah enam bulan saya mendapatkan lisensi resmi untuk memulai pekerjaan saya sendiri," kata Abu Jibba.

Dikenal di keluarga sebagai Al-Moukhtara atau "yang terpilih", Abu Jibba sering turun tangan untuk menengahi perselisihan di antara kerabatnya. Nama itulah yang dipilih untuk taksi Al-Moukhtara. Ia membeli KIA Soul berwarna krem dengan uang yang ditinggalkan ayahnya setelah kematiannya.

Namun pekerjaannya sebagai sopir tidaklah mudah dalam masyarakat yang didominasi laki-laki dengan harapan perempuan bekerja di rumah. Abu Jibba mengatakan sebelum media lokal mulai meliput pekerjaannya sebagai sopir taksi wanita pertama, hanya ada sedikit keberatan dan tanggapan negatif.

“Banyak pengemudi pria dan orang-orang di Gaza mulai menyerang saya di media sosial atau saat mengemudi karena mereka tidak menyukai gagasan saya mengemudikan taksi, meskipun banyak wanita lain yang mengemudi dengan bebas di Gaza,” kata Abu Jibba.

Ada pula pekerjaan lain yang tidak biasa bagi warga di Khan Younis di Jalur Gaza selatan. Salma al-Najjar adalah penjaga pom bensin, pekerjaan yang tidak pernah dilakukan oleh seorang wanita di daerah yang telah diperintah oleh Hamas sejak 2007.

Bagi al-Najjar, dia ingin menantang aturan di masyarakatnya yang membatasi beberapa profesi hanya untuk laki-laki setelah memulai pekerjaannya pada awal November. “Dengan dukungan keluarga saya, tujuan pertama saya adalah berkontribusi pada perubahan yang diperlukan dalam kesan komunitas tentang pekerjaan perempuan,” katanya.

“Saya tidak memiliki kebutuhan finansial untuk pekerjaan ini, tetapi saya ingin membuktikan bahwa seorang wanita memiliki kebebasan memilih dan dapat melakukan pekerjaan yang berbeda dan sulit. Dia bebas untuk mendapatkan penghasilan dari sumber bermartabat yang dia temukan," ujar perempuan berusia 15 tahun ini.

Pemilik stasiun bahan bakar, Mohammed al-Agha, adalah kerabat al-Najjar. Dia mengaku memperkerjakan seorang perempuan di stasiun pengisian bahan bakar umum merupakan tantangan karena masyarakat tidak akan menerimanya.

"Saya dan semua karyawan pria mendukung Salma dan kami mendorong gadis-gadis lain untuk mencoba pekerjaan di sini, sehingga komunitas akan menerima wanita melakukan pekerjaan ini karena menerima dokter wanita, insinyur, sekretaris, pekerja sosial, dan lain-lain," al-Agha.

Aktivis dan konsultan hak asasi manusia Azza Qassem mengatakan mungkin sulit bagi sebagian warga Palestina untuk menerima perempuan melakukan pekerjaan non-tradisional. Namun, perubahan akan terjadi secara bertahap.

“Secara umum, masyarakat di Gaza sudah mulai menerima perubahan peran perempuan karena alasan ekonomi, karena banyak perempuan yang mengepalai keluarga dan suami atau anak merasa frustrasi karena tidak mendapatkan kesempatan kerja,” kata Qassem.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement