Rabu 09 Sep 2020 15:10 WIB

Pandemi Covid-19 Gerogoti Sistem Kesehatan di Gaza

Kapasitas pengujian Covid di Gaza sangat terbatas dan sistem kesehatan sudah bobrok.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Christiyaningsih
Anak-anak mengenakan masker wajah saat berbelanja di toko bahan makanan selama penguncian yang diberlakukan selama pandemi virus corona, di kamp pengungsi Shati, di Kota Gaza, Kamis, 27 Agustus 2020. Ilustrasi.
Foto: AP / Adel Hana
Anak-anak mengenakan masker wajah saat berbelanja di toko bahan makanan selama penguncian yang diberlakukan selama pandemi virus corona, di kamp pengungsi Shati, di Kota Gaza, Kamis, 27 Agustus 2020. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Pandemi Covid-19 telah menggerogoti sistem kesehatan di Gaza yang sebelumnya sudah buruk akibat blokade Israel. Kementerian Kesehatan mengatakan setidaknya 68 pekerja medis telah terinfeksi virus corona.

Salah satu petugas medis yang terinfeksi virus corona adalah Dr. Ahmed el-Rabii. Dia adalah dokter pertama yang didiagnosis terpapar virus corona dan sedang menjalani perawatan di salah satu rumah sakit rujukan.

Baca Juga

El-Rabii tidak menyangka bahwa dirinya akan menjadi pasien, setelah bertahun-tahun menjadi garda depan untuk merawat orang-orang Palestina yang terluka akibat bentrokan dengan pasukan Israel. Dia mengatakan ancaman virus corona lebih menakutkan daripada perang di Gaza.

"Selama pertempuran Anda hanya takut terkena pecahan peluru. Tetapi dengan virus ini, Anda dibayangi kekhawatiran karena tidak tahu dari mana virus itu akan menyerang, bisa dari pasien, kolega, atau menyentuh lift dan permukaan lainnya," ujar el-Rabii.

Kapasitas pengujian Covid-19 di Gaza sangat terbatas dan lebih dari 1.000 kasus aktif telah terdeteksi serta sembilan orang meninggal dunia. Pandemi virus corona telah menyerang petugas medis yang selama lebih dari satu dekade selalu berada di garda depan untuk merawat korban luka akibat konflik dengan pasukan Israel.

Para tenaga medis bekerja dalam sistem kesehatan yang sudah bobrok akibat blokade Israel dan perseteruan politik intra-Palestina. Hal ini menyebabkan petugas medis tidak mendapatkan gaji yang layak. Para ahli telah memperingatkan bahwa pandemi virus corona dapat menjadi bencana besar bagi sektor kesehatan Palestina yang sudah rapuh.

Setelah lulus dari sekolah kedokteran di Mesir pada 2008, el-Rabii pulang ke Gaza dengan prospek suram. Satu-satunya lowongan pekerjaan yang tersedia adalah bekerja di rumah sakit yang dikelola oleh Hamas. Pada 2010 dia ditawari sebuah pekerjaan, tetapi pemerintah tidak mampu membayar gajinya secara penuh.

"Kebanyakan kami mendapatkan 40 persen dari gaji. Ini membuat para dokter mencari pekerjaan ekstra di klinik dan rumah sakit swasta," ujar el-Rabii.

Sebelum terinfeksi virus corona, el-Rabii bekerja selama 24 jam dengan menggunakan alat pelindung diri (APD) yang lengkap di musim panas yang terik. Dia diberikan jatah libur selama dua hari dan kembali lagi ke rumah sakit untuk menjalani shift selama 24 jam.

"Ini melelahkan. Akibat virus corona, semuanya sudah ditutup dan pekerjaan di klinik swasta sudah berhenti sehingga Anda hanya bekerja di rumah sakit umum," ungkapnya.

El-Rabii bekerja di rumah sakit utama Gaza, Shifa ,selama 10 tahun terakhir. Setelah ada pandemi virus corona, dia ditugaskan ke tim yang menangani pasien dengan gangguan pernapasan.

El-Rabii beserta dokter dan perawat lainnya menjalani tes swab setelah seorang pasien wanita dinyatakan positif mengidap Covid-19. Hasil tes swab el-Rabii menunjukkan dia terinfeksi virus corona. Selama menjalani isolasi di rumah sakit, el-Rabii menghabiskan waktunya untuk membaca alquran, beribadah, dan menjawab panggilan telepon dari teman serta anggota keluarga.

Komite Palang Merah Internasional mengatakan sistem kesehatan Gaza sangat tidak memadai untuk menghadapi wabah besar. Rumah sakit di Gaza tidak memiliki jumlah tempat tidur yang cukup untuk merawat pasien yang terinfeksi virus corona. Selain itu, jumlah ventilator juga sangat terbatas.

Seorang pejabat Kementerian Kesehatan, Ahmed Shatat, mengatakan Gaza telah kekurangan tenaga medis sebelum terjadi pandemi virus corona. Untuk membantu kekurangan staf medis, Kementerian Kesehatan mempersingkat waktu karantina wajib bagi dokter dan perawat yang terpapar virus corona.

Awalnya, tenaga medis yang terinfeksi Covid-19 wajib menjalani karantina selama tiga pekan. Kini, mereka hanya menjalani karantina selama dua pekan. Sementara, petugas medis yang sedang hamil dan memiliki masalah kesehatan tidak dibolehkan menangani pasien.

“Sistem kesehatan yang maju di dunia tidak dapat menahan wabah. Jadi bagaimana dengan sistem kesehatan kita yang rapuh, terkepung, dan bergantung pada bantuan dapat bertahan menghadapi krisis?” kata Shatat.

Di sisi lain, petugas laboratorium juga harus bekerja ekstra keras untuk menguji Covid-19. Seorang spesialis laboratorium, Haitham Ibrahim, harus bekerja tanpa henti selama dua pekan terakhir di sebuah laboratorium di rumah sakit Khan Younis, Gaza.

Ibrahim mengaku mengalami kelelahan yang sangat ekstrem. Dia harus bekerja dengan mengenakan APD selama 24 jam. "Saya sering tertidur karena kelelahan yang ekstrem. Kami beristirahat di antara shift," ujar Ibrahim.

Ibrahim memiliki risiko terpapar virus corona. Karena itu, dia menjalani karantina selama dua pekan di sebuah fasilitas karantina. Kemudian, ketika kembali ke rumah dia juga harus tetap melakukan isolasi mandiri selama dua pekan.

Dia mengaku sangat merindukan waktu berkumpul bersama istri dan lima anaknya. Serupa dengan petugas medis, Ibrahim hanya menerima 40 persen dari gajinya.

"Saya memiliki lima anak dan ketika saya menelpon mereka, saya menghindari pertanyaan mereka tentang kapan saya akan kembali ke rumah. Kami berharap pekerjaan kami akan dihargai setelah krisis berakhir," kata Ibrahim.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement