Kamis 01 Oct 2020 16:35 WIB

PBB Serukan Vaksin Harus Jadi Milik Bersama

Bank Dunia alokasikan 12 miliar dolar AS untuk bantu pembelian vaksin negara miskin.

Kandidat vaksin COVID-19 Sinovac, CoronaVac. Perserikatan Bangsa-Bangsa menyerukan agar vaksin Covid-19 menjadi barang milik bersama dan tidak dikuasai kelompok atau negara tertentu.
Foto: EPA-EFE/WU HONG
Kandidat vaksin COVID-19 Sinovac, CoronaVac. Perserikatan Bangsa-Bangsa menyerukan agar vaksin Covid-19 menjadi barang milik bersama dan tidak dikuasai kelompok atau negara tertentu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perserikatan Bangsa-Bangsa menyerukan agar vaksin Covid-19 menjadi barang milik bersama dan tidak dikuasai kelompok atau negara tertentu. Sejumlah lembaga dan negara telah mengalokasikan dana untuk membantu negara miskin mendapatkan vaksin Covid-19.

Hal itu disampaikan Sekretaris Jenderal PBB António Guterres pada pertemuan tingkat tinggi yang diadakan secara virtual di sela Sidang Umum ke-75 Majelis Umum PBB, Rabu (30/9) waktu setempat. “Bekerja sama menanggulangi pandemi merupakan bagian dari kepentingan nasional dan ekonomi masing-masing negara agar kapasitas tes dan perawatan dapat diperluas, serta vaksin dapat menjadi barang milik bersama atau istilahnya vaksin milik rakyat itu segera tersedia dan terjangkau oleh siapa pun, di mana pun,” kata Guterres saat menyampaikan sambutannya pada pertemuan terkait ACT-Accelerator.

Baca Juga

ACT-Accelerator merupakan akses berbagi sarana dan prasarana percepatan penanggulangan Covid-19 yang diluncurkan pada April 2020. Ini dikoordinasi oleh berbagai lembaga multilateral, pihak swasta, dan organisasi filantropi.

Menurut Guterres, ACT-Accelerator dan COVAX Facility/kanal bersama untuk pembelian vaksin Covid-19 merupakan perangkat yang dapat digunakan untuk menjadikan vaksin Covid-19 sebagai barang milik masyarakat dunia.

Ia menyebutkan beberapa alasan terkait pernyataannya itu. Salah satunya, ACT-Accelerator merupakan satu-satunya mekanisme global yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan dan memiliki ragam fasilitas untuk mengendalikan pandemi.

“ACT-Accelerator memiliki portofolio vaksin terbesar dunia yang sebagian besar telah memasuki tahap uji klinis tahap akhir,” kata Guterres.

Oleh karena itu, Guterres mengajak pemerintah dan sektor swasta untuk berinvestasi di ACT-Accelerator. “Berinvestasi di ACT-Accelerator akan mempercepat upaya pemulihan setelah pandemi,” kata Guterres.

Ia menyebutkan pandemi Covid-19 menyebabkan perekonomian dunia merugi sampai 375 miliar dolar (sekitar Rp 5.557 triliun) per bulan.

Dalam acara yang sama, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengaktan dukungan dana untuk ACT-Accelerator dapat mempercepat penanggulangan pandemi dan pemulihan ekonomi global.

“Ini adalah ujian untuk solidaritas global. Ini adalah saat kita untuk berkata tidak pada nasionalisme dan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan bersama, karena ACT-Accelerator tidak hanya memastikan persediaan vaksin, obat, dan cara pemeriksaan, tetapi juga harapan,” kata Ghebreyesus.

Terkait kebutuhan itu, Bank Dunia berencana mengalokasikan lebih dari 12 miliar dolar AS (sekitar Rp 177,8 triliun) untuk membantu mempercepat pembelian vaksin bagi negara-negara miskin dan berkembang apabila anti virus itu telah tersedia. Di samping Bank Dunia, Kanselir Jerman Angela Merkel mengumumkan pihaknya akan menyumbang 675 juta euro (sekitar Rp 11,7 triliun) untuk ACT-Accelerator dan tambahan 400 juta euro (sekitar Rp 6,9 triliun) lewat Uni Eropa.

Sementara itu, Pemerintah Kanada mengumumkan akan mengalokasikan 440 juta dolar AS (sekitar Rp6,5 triliun) untuk COVAX Facility, program yang bernaung di bawah kolaborasi ACT-Accelerator. Pemerintah Inggris juga mengumumkan alokasi sumbangan sebanyak 732 juta dolar AS (sekitar Rp 10,8 triliun) untuk kolaborasi global tersebut, sementara Swedia akan menyalurkan bantuan sebesar 10 juta dolar AS (sekitar Rp 148 miliar).

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement