Senin 13 Jul 2020 05:29 WIB

Penelitian: Anak Muda Berisiko Depresi Saat Pandemi

Anak muda yang diteliti juga makan berlebihan untuk mengatasi suasana hati

Red: Nur Aini
Anak muda (ilustrasi)
Foto: REUTERS
Anak muda (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Penelitian terbaru menunjukkan, anak muda berisiko lebih tinggi menderita masalah kesehatan mental oleh karena pembatasan maupun lockdown atau karantina wilayah ketat. Mayoritas negara di dunia memberlakukan kebijakan untuk tetap di rumah saja atau mengarantina wilayahnya demi mengurangi laju penularan virus corona baru atau Covid-19.

Studi terbaru oleh University College London (UCL), Imperial College dan University of Sussex mencatat ada enam dari 10 anak muda dengan masalah kesehatan mental yang sudah ada sebelumnya, dan empat dari 10 tanpa melaporkan tingkat stres yang lebih tinggi. Studi You-COPE mengatakan, hampir setengah dari remaja berusia 16 hingga 24 tahun tanpa masalah kesehatan mental sebelumnya, melaporkan tingkat tinggi gejala depresi.

Baca Juga

Satu dari tiga orang itu mengatakan, mengalami tingkat kecemasan sedang hingga parah selama lockdown. Penelitian terpisah oleh yayasan amal Young Minds juga menunjukkan bahwa 80 persen remaja dan dewasa muda, percaya bahwa pandemi telah memperburuk kesehatan mental mereka.

Oleh karena itu, para aktivis menilai sekolah perlu diberikan spesialis kesehatan mental sebelum September ketika anak-anak kembali ke sekolah. Pemerintah juga didorong harus mengeluarkan dana baru yang signifikan untuk mengatasi kesehatan mental kaum muda.

Peneliti You-COPE juga menemukan bahwa 28 persen dari 1.507 orang muda dalam survei tanpa masalah kesehatan mental sebelumnya mengatakan kualitas hubungan mereka memburuk selama pandemi. Hampir setengahnya mengatakan mereka telah menggunakan waktu lockdown untuk makan berlebihan dalam mengatasi suasana hati mereka; untuk orang muda dengan depresi dan kecemasan, jumlahnya enam dari 10.

Associate professor di UCL dan kepala kesehatan mental anak di Great Ormond Street Hospital, Lee Hudson mengungkapkan kekhawatirannya dengan jumlah anak muda yang dalam penelitiannya telah melaporkan bahwa makan berlebihan sebagai cara mengatasi suasana hati mereka yang rendah selama adanya lockdown.

"Ini benar-benar mengkhawatirkan karena penelitian kami juga menunjukkan bahwa banyak anak muda yang menerima perawatan kesehatan mental melaporkan gangguan pada layanan mereka; ini dapat memiliki dampak jangka panjang yang serius," ujar Hudson dikutip laman Guardian, Ahad (12/7).

Menurutnya, pandemi telah menjadi pukulan ganda bagi kaum muda karena mereka juga berisiko lebih besar untuk menganggur. "Kaum muda bukanlah kelompok yang secara langsung berisiko tinggi dari Covid-19, tetapi mereka tentu berisiko tinggi dari lockdown," ujarnya.

Direktur Julian Campbell Foundation, Jacqui Campbell mengatakan, remaja menghadapi transisi besar yang mengubah hidup dalam menghadapi ujian dan pindah ke pendidikan lebih lanjut, universitas atau pekerjaan, dan sangat rentan terhadap ketidakpastian yang disebabkan oleh pandemi. Dia mengatakan, remaja seharusnya menjadi lebih mandiri, tetapi telah terlempar kembali untuk menghabiskan seluruh waktu mereka dengan orang tua mereka di rumah. Menurut penelitiannya, belajar di rumah juga telah meningkatkan tingkat stres di banyak orang.

"Kami khawatir bahwa sekolah tidak akan memiliki sumber daya untuk menangani masalah kesehatan mental anak-anak ketika mereka kembali pada bulan September," ujarnya.

Survei YoungMinds dari 2.036 anak muda berusia 13 hingga 25 tahun menunjukkan bahwa 87 persen merasa kesepian atau terisolasi, meskipun banyak yang bisa tetap berhubungan dengan teman-teman. Dari mereka yang membutuhkan dukungan kesehatan mental sebelum krisis, 31 persen mengatakan mereka tidak dapat mengakses dukungan tetapi masih membutuhkannya. Beberapa di antaranya atau 11 persen mengatakan kesehatan mental mereka baik karena dapat menghindari tekanan intimidasi atau akademik.

Direktur kampanye di YoungMinds, Tom Maddens mengatakan, dalam beberapa bulan terakhir, orang-orang muda telah berjuang untuk mengatasi isolasi sosial, kecemasan, kehilangan struktur dan ketakutan tentang masa depan mereka. Banyak dari mereka yang memiliki masalah kesehatan mental juga kehilangan mekanisme penyembuhan diri, termasuk bertemu teman atau ikut serta dalam kegiatan rutin dan mengalami gangguan pada dukungan mereka.

Dia mengatakan video call maupun percakapan telepon tidak berhasil untuk semua orang, dan beberapa orang muda menginginkan dukungan tatap muka. "Pemerintah harus memastikan ada dana baru yang signifikan untuk mencegah pandemi dari konsekuensi jangka panjang pada kesehatan mental. Kesejahteraan anak-anak dan remaja harus menjadi jantung dari semua pembuatan kebijakan, sehingga keputusan lintas pemerintah memiliki dampak positif," ujar Maddens.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement