Kamis 25 Feb 2021 23:47 WIB

Kisah Korban Penyiksaan Suriah yang Temukan Keadilan di Jerman

Luna Watfa, korban penyiksaan Suriah, menemukan keadilan di Jerman.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
DW
DW

Luna (bukan nama asli) menghabiskan lebih dari 60 hari menanti jawaban atas keadilan untuknya. "Saya ingat apa yang terjadi pada saya," katanya. "Ketika saya harus mendengar detail yang sama tentang penyiksaan dari para saksi, itu sangat sulit bagi saya."

Pada April 2020, dua mantan anggota dinas rahasia Suriah diadili di pengadilan Koblenz, Jerman atas kejahatan terhadap kemanusiaan. Vonis di Kota Koblenz, Jerman, menandai pertama kalinya pengadilan memutuskan perkara penyiksaan yang terjadi di luar negeri.

Seorang saksi lainnya, mengisahkan penganiayaan berat yang dilakukan oleh seorang penjaga yang juga menyiksa Luna.

Di ruang tamu rumahnya di Koblenz, Luna bercerita tentang hidupnya di Suriah 10 tahun lalu. Dia berbicara tentang kondisi penjara yang menyedihkan. Dia dipenjara bersama 20 perempuan lainnya di dalam ruangan sempit berukuran 10 meter persegi.

Kejahatan terhadap kemanusiaan

Luna berada di pengadilan pada hari Rabu (24/02), ketika putusan pertama diumumkan. Dia tidak pernah melewatkan satu hari pun proses persidangan.

Salah satu saksi adalah pria yang Luna sebut "Penggali Kubur". Dia muncul pada pertengahan September secara anonim atas alasan keamanan keluarga, itulah sebabnya dia diperkenalkan sebagai saksi "Z 30/07/19" dalam persidangan.

Mantan pegawai administrasi pemakaman Damaskus itu menggambarkan bagaimana dia dipaksa dinas intelijen Suriah untuk mengangkut mayat dan menguburnya di kuburan massal. Dia harus melakukan pekerjaan tersebut beberapa kali dalam sepekan. Ratusan mayat yang dilihatnya menunjukkan tanda-tanda pelecehan berat.

Lalu ada saksi "foto Caesar", seorang fotografer militer Suriah yang selama dua tahun harus mengambil foto orang-orang yang tewas dalam tahanan untuk digunakan mengurus birokrasi kematian negara, namun diam-diam ia membuat salinannya. Foto-foto itu diselundupkannya ke luar negeri dan diserahkan ke Kantor Kejaksaan Federal Jerman.

Markus Rothschild, seorang ahli patologi forensik dari Cologne, menganalisis puluhan ribu foto orang-orang yang disiksa, beberapa meninggal akibat kelaparan, dan mempresentasikan temuannya di ruang sidang Koblenz selama dua hari pada awal November 2020.

Ibu rumah tangga, jurnalis warga, dan narapidana

Luna bersikap apolitis sebelum demonstrasi pertama melawan rezim Bashar al-Assad terjadi pada Maret 2011. "Saya tidak tahu apa yang terjadi di negara ini. Saya tidak mendukung pemerintah atau menentangnya," katanya.

Tetapi kemudian lulusan hukum itu mulai membaca buku-buku tentang sejarah Suriah dan tentang kejahatan keluarga Assad. Wawasan itu akhirnya membuatnya mengerti mengapa orang-orang turun ke jalan.

Setelah sekitar lima bulan membaca dengan intens, Luna ikut serta dalam aksi demonstrasi. Dia membantu pengungsi dari daerah lain yang datang ke Damaskus.

Atas saran seorang teman, Luna menjadi jurnalis warga. Selama setahun, dia mempelajari tentang jurnalisme online, dibantu oleh organisasi Suara Suriah.

Dengan nama samaran Luna, dia memulai program di sebuah stasiun online pada pertengahan 2013.

"(Menyebarkan informasi) tentang mayat yang ditemukan di Damaskus," kenangnya. "Tapi tidak ada yang tahu siapa mereka. Saya menyebarkan informasi tentang orang-orang ini, dan ketika kerabat mendengarnya, mereka bisa menelepon dan berkata, 'Ini ayah atau anak saya.'"

Luna juga menginformasikan serangan senjata kimia di pinggiran Damaskus, Ghouta Timur pada Agustus 2013. Bekerja sama dengan kenalannya dari pinggiran kota, Luna memutuskan untuk mendokumentasikan pembantaian itu.

"Kami mengambil banyak foto dan video. Saya menggunakannya sendiri untuk mendokumentasikan 800 nama korban." Dia mengirim informasi bahan peledak ke oposisi Suriah di luar negeri. "Itu tersimpan di USB," dan saat itulah badan intelijen mulai mencari Luna.

Diseret dengan mata tertutup

Sekitar empat bulan kemudian, penyiksaan itu terjadi.

Menjelang akhir 2013, Luna berada di Damaskus, membantu orang-orang mengungsi. Tiga mobil berhenti, belasan petugas keamanan keluar. Seseorang menanyakan namanya di kartu identitasnya. "Kemudian mereka membawa saya ke salah satu mobil," kenangnya.

"Mereka menutup mata saya dengan syal, jadi saya tidak bisa melihat tujuan kami. Mereka membawa saya ke departemen 40. Itu departemen tempat Eyad A. bekerja untuk waktu yang lama."

Eyad A. adalah mantan agen rahasia Suriah yang dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara dalam persidangan di Koblenz, atas tuduhan membantu dan mendukung kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pada saat Luna ditangkap, Eyad sudah melarikan diri ke luar negeri. Kemudian Luna dikirim ke penjara rahasia dekat Damaskus yang dikenal sebagai Al Khatib atau Cabang 251, yang disebut "neraka di bumi". Di sanalah terdakwa kedua, Anwar R., pernah menjadi interogator.

Teror psikologis dan ketakutan untuk anak-anaknya

Selama interogasi berjam-jam, Luna membantah tudingan dinas intelijen Suriah, namun mereka berhasil menggeledah apartemennya dan menemukan laptop yang mengungkap identitas Luna.

Sekarang para agen menginginkan nama orang yang membantu Luna. "Kemudian salah satu petugas berkata, 'Oke, Anda tidak mau bekerja sama? Maka kami akan menangkap putra dan putri Anda!' Mereka membawa putra saya ke hadapan saya - dan itu adalah hal terburuk yang pernah saya alami."

Pada saat yang sama, dia juga mendengar instruksi melalui radio untuk menangkap putrinya di sekolah. "Sejak saat itu, saya tidak melihat anak-anak saya. Selama interogasi mereka mengancam: 'Beri tahu kami apa yang kamu ketahui, jika tidak kami akan membawa anak-anak Anda dan menyiksa mereka di depan Anda.'"

Selama sekitar dua bulan Luna menjadi tahanan dinas rahasia, di tiga departemen berbeda. Kemudian dia dipindahkan ke penjara biasa dan diizinkan untuk menghubungi keluarganya.

Rumah baru di Koblenz

Setelah 13 bulan di penjara, Luna bebas. Pengacara Luna menyarankan untuk melarikan diri namun keinginan untuk tinggal bersama anak-anak dan tekanan yang begitu besar membuat Luna pindah ke Turki dan melakukan perjalanan ke Jerman melalui Balkan.

Tak berselang lama, anak-anaknya pun mengungsi ke Turki. Setelah Luna diakui sebagai pencari suaka, dia dapat membawa anak-anaknya ke Jerman berdasarkan peraturan suaka yang memungkinkan reunifikasi keluarga.

Setelah semua yang dialaminya, bagi Luna "persidangan adalah pertama kalinya kami memiliki kesempatan untuk berbicara tentang pengalaman kami. Ini hanya sebuah langkah kecil menuju keadilan, tetapi ini sangat penting!"

Sebagai jurnalis, dia berusaha untuk tetap netral meski secara pribadi sulit untuk tidak terpengaruh dan tidak berprasangka buruk terhadap kedua terdakwa. "Tapi tentu saja aneh melihat mereka sepanjang waktu," katanya. "Dan bahwa kami sebagai penyintas sekarang berada dalam posisi yang kuat, sedangkan mereka, Anwar R. dan Eyad A. adalah para terdakwanya."

Namun situasi yang dihadapi para terdakwa tidak sebanding dengan apa yang terjadi di Suriah, kata Luna sambil minum secangkir teh hitam, mengingat betapa dia sendiri sepenuhnya hidup tanpa mendapatkan hak.

Pada saat yang sama, penting bagi Luna untuk mencatat satu hal: bahwa dia sama sekali tidak ingin para terdakwa mengalami hal yang sama seperti yang dia atau saksi-saksi yang hadir di persidangan. Tidak ada yang harus mengalami hal seperti itu. (ha/pkp)

Teks ini telah diterjemahkan dari laporan bahasa Jerman.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement