Selasa 11 May 2021 16:31 WIB

NGO: 781 Orang Tewas Sejak Kudeta Militer di Myanmar

Asosiasi Pendamping untuk Tahanan Politik (AAPP) mengungkapkan, junta memaksa anggota keluarga korban kekerasan menandatangani sertifikat kematian dengan keterangan tidak benar - Anadolu Agency

Asosiasi Pendamping untuk Tahanan Politik (AAPP) mengungkapkan, junta memaksa anggota keluarga korban kekerasan menandatangani sertifikat kematian dengan keterangan tidak benar - Anadolu Agency
Asosiasi Pendamping untuk Tahanan Politik (AAPP) mengungkapkan, junta memaksa anggota keluarga korban kekerasan menandatangani sertifikat kematian dengan keterangan tidak benar - Anadolu Agency

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Asosiasi Pendamping untuk Tahanan Politik (AAPP) mengungkapkan, pasukan junta telah menewaskan 781 orang hingga Senin (10/5) malam. Dalam laporannya, Selasa (11/5) dini hari, AAPP mengumumkan tambahan satu korban asal Yangon yang tewas pada Ahad dan didokumentasikan pada Senin.

Secara keseluruhan, AAPP mencatat 3.843 orang masih ditahan, 86 orang di antaranya dijatuhi hukuman. Menurut AAPP, pasukan junta militer Myanmar memaksa anggota keluarga korban kekerasan menandatangani sertifikat yang menyatakan penyebab kematian karena penyakit.

Baca Juga

AAPP menyebut, hal itu terjadi pada penyair Khet Thi yang tewas pada Minggu dengan luka konsisten dengan tanda penyiksaan. “Istrinya harus menandatangani pengakuan yang menyatakan dia (Khet Thi) meninggal karena kondisi kesehatan yang sudah ada demi mendapatkan kembali jenazahnya,” ungkap AAPP dalam keterangannya.

Menurut AAPP, tindakan tersebut dilakukan pasukan junta untuk menutupi kekejaman mereka dan menghancurkan bukti. Belakangan ini, AAPP melaporkan, pasukan junta melakukan sejumlah penangkapan, terutama orang yang memimpin perlawanan terhadap junta.

Seorang lulusan universitas kedokteran tewas setelah jatuh dari gedung saat polisi menggerebek Star City Home di Yangon pada Minggu siang. “Meskipun laporan awal menyebutkan laki-laki tersebut jatuh, sejumlah media melaporkan bahwa dia didorong oleh polisi dan tentara,” ungkap AAPP.

AAPP mengungkapkan, pasukan junta kini juga menargetkan kelompok disabilitas. Seorang laki-laki difabel yang rutin mengikuti Mandalay Monk Union Strike ditangkap di Mandalay pada Minggu sore, dan tidak dibebaskan dengan jaminan. AAPP mendesak komunitas internasional dan ASEAN menangani situasi saat ini dengan segera demi memulihkan demokrasi Myanmar.

Dua tertuduh informan tewas ditembak

Media lokal Myanmar Now pada Senin melaporkan dua laki-laki yang dituduh sebagai informan untuk rezim militer tewas dibunuh di Mohnyin, Negara Bagian Kachin. Korban pertama bernama Tin Zaw Yu asal Desa Mawhun, yang merupakan mantan pejabat administrasi lokal.

Sementara, Myanmar Now belum dapat mengonfirmasi nama seorang korban lainnya yang berasal dari Desa Taung Sein Maw. Seorang penduduk lokal asal Mawhun yang tak ingin disebutkan namanya mengatakan, dua orang berpakaian sipil masuk ke rumah Tin dan menembaknya dari jarak dekat pada 9 Mei malam.

“Mereka bahkan tidak lari. Mereka hanya menembak dia (Tin) dan pergi dengan santai,” kata penduduk lokal itu dikutip dari Myanmar Now.

Desa Taung Sein Maw, lokasi tempat tertuduh informan lainnya ditembak, berjarak beberapa mil dari Desa Mawhun. Menurut Myanmar Now, bentrokan antara Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA) dan militer semakin intens sejak Maret setelah KIA menolak mengakui junta dan mengancam akan bertindak apabila junta menyerang pengunjuk rasa.

sumber : https://www.aa.com.tr/id/dunia/ngo-781-orang-tewas-sejak-kudeta-militer-di-myanmar/2236635
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement