Senin 08 Mar 2021 13:02 WIB

Hadapi Demonstran, Polisi Myanmar Duduki Rumah Sakit

Militer dinilai tak bosan-bosan melanggar hak asasi warga Myanmar.

Rep: Lintar Satria/ Red: Teguh Firmansyah
Para pengunjuk rasa di jalan utama Mandalay, Myanmar, Minggu, 7 Maret 2021. Aksi kekerasan di Myanmar meningkat ketika pihak berwenang menindak protes terhadap kudeta 1 Februari lalu.
Foto: AP
Para pengunjuk rasa di jalan utama Mandalay, Myanmar, Minggu, 7 Maret 2021. Aksi kekerasan di Myanmar meningkat ketika pihak berwenang menindak protes terhadap kudeta 1 Februari lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON--Kepolisian Myanmar menduduki rumah sakit dan universitas di Kota Yangon pada Ahad (7/3). Kabarnya polisi juga menangkap ratusan orang yang terlibat unjuk rasa menentang kudeta tersebut.

Ketegangan di kota terbesar di Myanmar, Yangon semakin memanas ketika suara tembakan dari senjata berat terdengar di sejumlah wilayah di kota itu. Berdasarkan video yang tersebar di media sosial, suara yang terdengar usai jam 20.00 itu tampaknya suara granat kejut.

Baca Juga

Sebuah laporan menyebutkan sejumlah suara tembakan terdengar di dekat rumah sakit. Sementara warga berusaha menghalangi polisi dan tentara masuk ke pemukiman.

Sebelumnya pasukan keamanan mengincar personel dan fasilitas medis, menyerang ambulan dan kru-kru mereka. Muncul kekhawatiran keberadaan polisi di rumah sakit membuat mereka dapat menangkap pengunjuk rasa yang terluka. Organisasi kemanusiaan Physicians for Human Rights mengutuk langkah polisi menduduki rumah sakit.

"Terkejut dengan gelombang kekerasan terbaru yang dilakukan militer Myanmar, termasuk pendudukan dan invasi ke rumah sakit umum dan kekerasan yang berlebihan terhadap warga sipil," kata organisasi tersebut dalam pernyataannya seperti dikutip the Guardian, Senin (8/3).

"Bila sebelumnya tidak jelas, kini sudah jelas; militer Myanmar tidak akan berhenti melanggar hak asasi rakyat Myanmar sampai masyarakat internasional bertindak tegas untuk mencegah dan meminta tanggung jawab atas aksi yang keterlaluan ini," tambah Physicians for Human Rights.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement