Sabtu 27 Feb 2021 20:40 WIB

Dubes Myanmar Minta PBB Hentikan Kudeta Militer

Dubes Kyaw Moe Tun mewakili Suu Kyi mengungkapkan itu di depan Majelis Umum PBB.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Yudha Manggala P Putra
Pengunjuk rasa anti-kudeta dari serikat siswa dan guru berbaris saat polisi berjaga-jaga di Mandalay, Myanmar, Rabu, 24 Februari 2021. Para pengunjuk rasa yang menentang perebutan kekuasaan militer di Myanmar kembali ke jalan-jalan kota pada Rabu, beberapa hari setelahnya. pemogokan umum menutup toko-toko dan membawa banyak orang keluar untuk berdemonstrasi.
Foto: AP Photo/STR
Pengunjuk rasa anti-kudeta dari serikat siswa dan guru berbaris saat polisi berjaga-jaga di Mandalay, Myanmar, Rabu, 24 Februari 2021. Para pengunjuk rasa yang menentang perebutan kekuasaan militer di Myanmar kembali ke jalan-jalan kota pada Rabu, beberapa hari setelahnya. pemogokan umum menutup toko-toko dan membawa banyak orang keluar untuk berdemonstrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Duta Besar Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun mendesak PBB menghentikan kudeta militer di negaranya dengan menggunakan segala cara yang diperlukan. Kyaw berbicara atas nama pemerintahan pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi.

"Kami membutuhkan tindakan sekuat mungkin lebih lanjut dari komunitas internasional untuk segera mengakhiri kudeta militer, untuk menghentikan penindasan terhadap orang-orang yang tidak bersalah, dan untuk memulihkan demokrasi," kata Kyaw saat berbicara di Majelis Umum PBB, Sabtu (27/2).

Pada kesempatan itu, Kyaw pun sempat mengacungkan salam tiga jari yang menjadi simbol perlawanan rakyat Myanmar terhadap kudeta militer. Para hadirin yang berpartisipasi dalam pertemuan Majelis Umum PBB seketika memberikan tepuk tangan ketika Kyaw selesai menyampaikan pernyataannya.

Rakyat Myanmar yang bepartisipasi menentang kudeta juga mengapresiasi keberanian Kyaw. Mereka memujinya sebagai pahlawan. "Rakyat akan menang dan junta yang terobsesi dengan kekuasaan akan jatuh," kata Ei Thinzar Maung, salah satu pemimpin unjuk rasa di Myanmar.

Hingga saat ini unjuk rasa menentang kudeta militer di Myanmar masih berlangsung. Di kota terbesar, Yangon, polisi anti huru-hara menembakkan peluru karet, granat setrum, dan tembakan ke udara untuk membubarkan massa. Sejumlah orang terluka dan ditahan, salah satunya jurnalis asal Jepang.

Bentrokan massa dengan aparat keamanan juga terjadi di Mandalay. Pembubaran demonstrasi turut dilakukan di Naypyitaw, Magwe, dan kota perbukitan barat Hakha. Menurut Myanmar’s Assistance Association for Political Prisoners, sejauh ini setidaknya terdapat 689 orang yang berada di bawah penahanan atau memiliki tuntutan luar biasa sejak demonstrasi menentang kudeta dimulai tiga pekan  lalu.

Pada 1 Januari lalu, militer Myanmar melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil di negara tersebut. Mereka menangkap pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior partai National League for Democracy (NLD).

Kudeta dan penangkapan sejumlah tokoh itu merupakan respons militer Myanmar atas dugaan kecurangan pemilu pada November tahun lalu. Dalam pemilu itu, NLD pimpinan Suu Kyi menang telak dengan mengamankan 396 dari 476 kursi parlemen yang tersedia. Itu merupakan kemenangan kedua NLD sejak berakhirnya pemerintahan militer di sana pada 2011.

Militer Myanmar telah mengumumkan keadaan darurat yang bakal berlangsung selama satu tahun. Sepanjang periode itu, militer akan mengontrol jalannya pemerintahan. Militer Myanmar telah berjanji akan mengadakan pemilu baru. Gagasan tersebut telah ditolak para demonstran.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement