Sabtu 19 Jun 2021 12:00 WIB

Varian Corona Gamma Kebal Terhadap Perawatan Antibodi di AS

Varian Gamma dapat menolak efek perawatan antibodi

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Christiyaningsih
Petugas medis sedang melakukan simulasi bagi vaksin Pfizer di rumah sakit di Queens, New York, Amerika Serikat.
Foto: EPA
Petugas medis sedang melakukan simulasi bagi vaksin Pfizer di rumah sakit di Queens, New York, Amerika Serikat.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Varian virus corona gamma atau P.1 mulai berkembang di beberapa bagian AS. Bukti saat ini menunjukkan varian Gamma dapat menolak efek perawatan antibodi.

 

Baca Juga

Di sembilan negara bagian AS, Departemen Kesehatan dan Pelayanan Kemanusiaan (HHS) telah menghentikan distribusi dua perawatan antibodi monoklonal dari perusahaan farmasi Eli Lilly and Co, dengan alasan berkurangnya efektivitas terhadap varian Gamma dan Delta.

"Hasil dari uji in vitro yang digunakan untuk menilai kerentanan varian virus terhadap antibodi monoklonal tertentu menunjukkan bamlanivimab dan etesevimab yang diberikan bersama-sama tidak aktif terhadap varian P.1 (Gamma) atau B.1.351 (Beta),” kata HHS dilansir CNN, Sabtu (19/6).

Menurut CDC, varian Gamma menunjukkan kerentanan yang berkurang secara signifikan terhadap pengobatan Lilly dan mengurangi netralisasi dari kekebalan pasca-infeksi dan pasca-vaksin. Resistensi antibodi itu, kata Dr. Peter Hotez, menghadirkan isu kunci dalam varian ini.

"Jika Anda tidak divaksinasi atau jika Anda hanya mendapat satu dosis vaksin, Anda memiliki kerentanan," kata Hotez, Dekan National School of Tropical Medicine di Baylor College of Medicine.

"Dan saat ini satu-satunya pengobatan efektif yang kami miliki jika Anda memberikannya sejak dini adalah antibodi monoklonal. Jadi jika itu akan lolos dari antibodi monoklonal, itu benar-benar bermasalah," katanya.

Hotez mengatakan dampak pada kekebalan terkait dengan mutasi, tiga di antaranya, yang mengubah bentuk virus dalam varian, membuat protein sistem kekebalan yang disebut antibodi lebih sulit untuk mengenali dan menempel padanya.

"Varian yang lebih resisten antibodi berpotensi menyebabkan beberapa masalah untuk perlindungan vaksin," kata John P. Moore, profesor mikrobiologi dan imunologi di Weill Cornell Medicine.

Moore mengatakan dalam peringkat beberapa varian kunci, Gamma telah terbukti memiliki resistensi yang lebih besar terhadap antibodi daripada Alpha, tetapi resistensi yang sebanding dengan Delta. "Tidak berarti bahwa itu akan membuang perlindungan vaksin di Amerika Serikat," katanya.

Vaksin resmi menghasilkan perlindungan yang jauh lebih banyak daripada yang dihasilkan oleh infeksi alami. Dua dosis, Pfizer dan Moderna, seharusnya mampu menangani varian ini dengan cukup baik karena mereka sangat kuat.

"J&J mungkin mengalami beberapa masalah, tetapi mungkin masih memiliki potensi yang cukup untuk membuat orang keluar dari ICU, yang merupakan hal yang paling penting," kata Moore.

 

Namun, penyebaran varian menciptakan lingkungan di mana kekuatan vaksinasi mungkin tidak bertahan selamanya. Menurut pakar spesialis penyakit menular Ramon Lorenzo Redondo, yang mengkhawatirkan dari semua varian ini adalah mereka terus muncul. Dia mengatakan di daerah di mana vaksinasi rendah, varian dapat menyebar, mereplikasi, dan berkembang lebih cepat.

"Dalam situasi itu, Anda dapat mendorong virus untuk beradaptasi, tidak hanya untuk menularkan lebih cepat, tetapi juga untuk menghindari kekebalan," kata Redondo.

Menurutnya, beberapa dari garis keturunan virus telah berevolusi untuk menghindari kekebalan alami. Namun, mereka tidak dapat menghindari kekebalan yang dihasilkan oleh vaksin.

"Jika Anda membiarkan jumlah kasus yang tinggi ini di negara-negara yang tidak divaksinasi, atau negara-negara yang tidak sepenuhnya divaksinasi, Anda memasuki zona bahaya," jelasnya.

Setiap kali virus menginfeksi seseorang, virus itu bereplikasi dan berevolusi. Akhirnya varian yang sangat resisten terhadap vaksin bisa muncul.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement