Kamis 10 Jul 2014 23:08 WIB

Ini Penyebab Hasil 'Quick Count' Salah

Warga menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di TPS 18, Desa Klampok, Brebes, Jawa Tengah, Rabu (9/7).
Foto: Raisan Al Farisi/Republika
Warga menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di TPS 18, Desa Klampok, Brebes, Jawa Tengah, Rabu (9/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur INDex, Andy Agung Prihatna menjelaskan mengenai beberapa hal yang menyebabkan sebuah penghitungan cepat meleset atau salah.

Pertama, katanya, bisa karena sampling error dan nonsampling error. Dia mencontohkan, sampling error terkait dengan sampel. 

Jika lembaga survei tidak cermat dalam menditribusikan sampel dan ternyata jatuh pada wilayah yang menjadi basis massa salah satu capres, maka hasilnya bias.

"Ini dimungkinkan terjadi walau pun metodologi yang digunakan sudah benar," katanya di Jakarta, Kamis (10/7).

Kedua, tambah dia, karena untuk menghemat biaya dan mempercepat pengiriman data. Sehingga sampel yang jauh ditarik dengan sengaja ke kota. Dengan demikian, mendekati daerah yang mudah dijangkau. 

Berdasarkan data yang dimiliki, 20-25 wilayah di Indonesia merupakan kawasan remote yang sulit dijangkau. 

Kemungkinan lainnya, kata dia, ada beberapa lembaga survei berbeda nama namun dimiliki oleh satu orang. Sehingga ada kemungkinan sharing data.

"Ini juga bisa menyebabkan kesalahan karena kemungkinan wilayah remote area yang banyak itu ada kemungkinan memiliki persepsi berbeda dengan wilayah yang dekat (kota)," katanya.

Karena itu, suatu lembaga survei tidak boleh mengklaim sebagai yang paling benar dan lebih baik dari yang lain. 

Sedangkan, bagi masyarakat, jadikan data penghitungan cepat tersebut hanya sebagai acuan saja. Sebab keputusan final ada pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memiliki dasar hukum.

Ia menambahkan, semua lembaga survei yang melakukan quick count patut didalami lebih jauh teknik sampling yang digunakan. Karena dalam waktu cepat sudah mencapai 90-95 persen.

"Bagaimana dengan daerah-daerah terpencil? Sebab pengalaman saya dibutuhkan waktu 4-5 jam untuk dapat sinyal akibat TPS-nya jauh sekali. Ini keraguan dan kecurigaan saja, apakah semua daerah remote di-cover semua," kata Pendiri Lembaga Survei Indonesia itu.

Jika ada unsur kesengajaan dalam memanipulasi data quick count, kata dia, maka artinya ada upaya pembohongan publik. Ganjarannya, bisa dikenai sanksi hukum karena memberikan informasi yang salah.

Sedangkan, hal-hal yang nonsampling error misalnya soal objektivitas lembaga survei akibat berafiliasi kepada salah satu pasangan capres. 

"Lembaga survei harusnya tidak secara terbuka baik secara institusi mau pun personal berafiliasi kesiapa pun. Karena bisa berpengaruh kepada data yang ada," katanya.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement