Jumat 04 Jul 2014 06:23 WIB

Kubu Prabowo-Hatta Tuding Pemahaman Konstitusi Jokowi Dangkal

Kampanye Jokowi di Lapangan Monumen Bandung Lautan Api (BLA) Kota Bandung, Kamis (3/6).
Foto: Edi Yusuf/Republika
Kampanye Jokowi di Lapangan Monumen Bandung Lautan Api (BLA) Kota Bandung, Kamis (3/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menilai, pemahaman Joko Widodo (Jokowi) terhadap konstitusi negara dan peraturan perundangan dinilai masih dangkal.

Dalam visi dan misinya sebagai presiden, Jokowi terkesan lebih mengakui Pancasila versi 1 Juni  ketimbang Pancasila yang sah sebagaimana terdapat dalam pembukaan UUD 1945.

"Ini fatal, seorang presiden tidak paham konstitusi atau UUD negaranya," ujar penasehat Prabowo-Hatta, Letjen TNI Purn Suryo Prabowo saat mendampingi Hatta Rajasa bersilaturahim dengan tokoh PDIP Jawa Tengah, Rustriningsih di Kebumen, Kamis (3/7).

Menurutnya, ketidakpahaman itu juga terlihat dalam debat capres, Ahad (22/6). "Jokowi menyampaikan bahwa RI tidak perlu hadir dalam upaya menciptakan perdamaian dunia bila tidak menguntungkan dirinya. Dia tidak paham UUD, dan seorang presiden bisa di-impeach karena melanggar UUD," tuturnya.

Jokowi juga dinilai kurang paham terhadap peraturan perundangan. Misalnya, sebut dia, ketika menggunakan situs bersejarah. Seperti rumah si Pitung untuk deklarasi pencapresan, Gedung Juang'45 saat deklarasi capres/cawapres dan penggunaan lapangan Monas saat penyelenggaraan kampanye 22 Juni 2014. 

"Demi pencitraan, banyak peraturan yang ditabrak Jokowi. Bisa kacau balau negara ini jika Jokowi presidennya. Sepertinya dia sudah kecanduan pencitraan," ujarnya.

Dalam kehidupan demokrasi, pemahaman Jokowi juga dinilai masih dangkal dan jauh dari bijaksana. Misalnya, kata dia, terlihat dari tindakan anarkis, intimidasi dan aksi premanisme yang dilakukan pendukungnya di ruang terbuka.

"Semua orang bisa lihat. Pemukulan, pembakaran motor dan terakhir aksi vandalisme di studio TV One di Yogyakarta. Kejadian ini mirip  yang dilakukan PKI saat menduduki stasiun RRI di Jakarta pada 1965," ujarnya.

Menurut Suryo rangkaian peristiwa tersebut merupakan indikasi bangkitnya kembali kekuasaan otoriter. "Belum berkuasa saja sudah otoriter dan mengabaikan konstitusi. Saya tidak bisa bayangkan buruknya situasi jika mereka berkuasa," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement