Jumat 25 Nov 2011 18:14 WIB

Transformasi Nilai Hijrah

Hijrah, ilustrasi
Hijrah, ilustrasi

Menurut etimologi, hijrah artinya berpindah. Secara terminologi, ia mengandung dua makna, yaitu hijrah makani dan hijrah maknawi. Maksud hijrah makani adalah hijrah secara fisik berpindah dari suatu tempat yang kurang baik menuju yang lebih baik, dari negeri kafir menuju negeri Islam. Adapun hijrah maknawi artinya berpindah dari nilai yang kurang baik menuju nilai yang lebih baik, dari kebathilan menuju kebenaran, dari kekufuran menuju keislaman.

Makna terakhir oleh Ibnu Qayyim bahkan dinyatakan sebagai al-hijrah al-haqiqiyyah. Alasannya, hijrah fisik adalah refleksi dari hijrah maknawi itu sendiri. Dua makna hijrah tersebut sekaligus terangkum dalam hijrah Rasulullah saw dan para sahabatnya ke Madinah. Secara makani jelas mereka berjalan dari Makkah ke Madinah menempuh padang pasir sejauh kurang lebih 450 km. Secara maknawi  jelas mereka hijrah demi terjaganya misi Islam.

Sepanjang masa selalu ada pergantian tahun. Pergantian tahun selalu dimaknai dan diartikan berbeda-beda, bergantung cara masing-masing orang merayakannya. Tahun hijriyah adalah bagian yang penting dan tak terpisahkan dari Tarikh Islam. Tahun hijriyah merupakan tonggak sejarah Islam, di mana kebangkitan Islam menemukan momentum yang tepat. Dan melalui sejarah Islam itulah, dapat dilihat, satu demi satu pemberlakuan syari'at secara bertahap diwahyukan.

Sebelum datangnya Islam, di tanah Arab dikenal sistem kalender berbasis campuran antara Bulan (komariyah) maupun Matahari (syamsiyah). Peredaran bulan digunakan, dan untuk mensinkronkan dengan musim dilakukan penambahan jumlah hari (interkalasi). Pada waktu itu, belum dikenal penomoran tahun.

Sebuah tahun dikenal dengan nama peristiwa yang cukup penting di tahun tersebut. Misalnya, tahun dimana Muhammad lahir, dikenal dengan sebutan “Tahun Gajah”, karena pada waktu itu, terjadi penyerbuan Ka’bah di Makkah oleh pasukan gajah yang dipimpin oleh Abrahah, Gubernur Yaman.

Penetapan kalender Hijriyah dilakukan pada jaman Khalifah Umar bin Khatab, yang menetapkan peristiwa hijrahnya Rasulullah saw dari Makkah ke Madinah sebagai awal dari tahun baru Hijriyah. Kalender Hijriyah juga terdiri dari 12 bulan, dengan jumlah hari berkisar 29 - 30 hari. Penetapan 12 bulan ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah: 36).

Berbicara soal waktu tentu akan melihat detik, menit, jam, hari, pekan, bulan, tahun dan seterusnya. Tidak ada yang berhenti pada waktu. Semua berjalan mengikuti waktu yang selalu berubah. Setiap waktu yang bergulir itu pasti memiliki sejarah dan catatan tersendiri yang mengiringi dan menandainya.

Perubahan itu terjadi dengan sendirinya karena dimakan usia seperti umur suatu benda yang lama kelamaan terus berubah tanpa harus ada campur tangan manusia. Namun perubahan perilaku manusia memerlukan ikhtiar yang dimulai dengan niat, termasuk memaknai pergantian tahun baru Islam 1 Muharram 1433 Hijriyah. Begitu cepat waktu berjalan.

Beberapa hal yang bisa diambil dari peristiwa hijrah adalah: (a) perisitwa hijrah Rasululah dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah merupakan tonggak sejarah yang monumental dan memiliki makna yang sangat berarti bagi setiap muslim; (b) Hijrah mengandung semangat perjuangan tanpa putus asa dan rasa optimisme yang tinggi. Menegakkan aqidah di tengah budaya jahiliyah adalah perjuangan berat; (c) Hijrah mengandung semangat persaudaraan. Kaum Anshor Madinah dengan sepenuh hati menerima kaum Muhajirin Makkah, dan inilah contoh ukhuwah yang sejati.

Hijrah adalah urusan yang berat dan sulit. Di bawahnya terdapat onak dan duri. Terkadang harus mengarungi lautan, mendaki puncak-puncak gunung, hidup di antara serangga berbisa dan binatang-binatang buas. Ya, hijrah merupakan perkara yang berat bagi diri manusia. Padahal jiwa manusia berdasarkan tabiatnya lebih menyenangi kampung halamannya dan senang melihat wajah-wajah yang akrab di matanya dalam masa yang panjang. Meskipun demikian, jika seorang yang beriman merealisir ibadah itu (hijrah) dan mengiringinya dengan berjuang, maka sesungguhnya dia layak untuk mengharap rahmat Allah.

Hijrah mempunyai kedudukan yang sangat tinggi di sisi Allah. Dan kata hijrah menjadi identik dengan kata benar. Allah Ta’ala menyebut orang-orang yang berhijrah dengan sebutan orang-orang yang benar. Akan tetapi Allah membuat orang-orang yang menang bukan semata orang-orang yang benar. Allah berfirman: “(Yaitu) orang-orang fakir muhajirin yang diusir dari kampung halaman mereka dan dari harta mereka karena menuntut karunia Allah dan keridloan-Nya. Dan mereka menolong Allah dan Rosul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. ”(QS. Al-Hasyr: 8)

Maka dari itu derajat shiddiq (benar) itu lebih tinggi, karena ia selalu berkaitan dengan kedudukan hijrah, yang mana jihad itu tidak akan sempurna tanpanya. Allah berfirman: “Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya akan memperoleh tempat pindah yang banyak di bumi serta kelapangan rizki.” (QS. An-Nisa’: 100)

Konstruksi bangunan peradaban Islam dimulai sejak berawalnya hijrah. Secara historis faktual, masyarakat Madinah sebagai komunitas yang menerima kedatangan kaum Muhajirin Makkah telah dengan sepenuh hati membuka lebar kesempatan untuk bergabung dan menempati wilayah Yatsrib sebagai tempat hunian yang layak dan nyaman.

Rasulullah dan para sahabat hendak membangun komunitas yang selanjutnya dikenal dengan masyarakat madani. Bangunan peradaban dalam masyarakat di kota Madinah itulah yang kemudian memancar dan mampu memberi warna dunia dengan segala pancaran cahaya keimanan, kekuatan aqidah yang membentang, sinaran budi yang menembus jagad semesta raya. Dan Nabi Muhammad saw adalah memang diutus untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia.

Hijrah pada masa lalu tidak akan kita lakukan kini. Perintah hijrah dari Makkah ke Madinah adalah khusus untuk Rasul saw dan para sahabatnya. Tidak mungkin kita melakukan hal itu sementara kita berada di Indonesia dengan kondisi yang sedemikian adanya.

Hijrah pada masa kini adalah menunjukkan kepada Allah dan Rasul-Nya bahwa kita mampu melaksanakan hijrah dalam bentuk kontekstual; meninggalkan berbagai bentuk kemaksiatan yang menular, melepas belenggu syahwat yang kronis, mengkonsumsi produk dalam negeri dan menjauhi produk negeri tiran, dan seterusnya.

Sebagai insan Muslim, hijrah adalah suatu keniscayaan. Pemaknaan hijrah itu bergantung pada situasi dan kondisi yang mengitarinya. Hijrah tidak akan dilakukan tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran yang mendalam. Hingga hijrah itu dilakukan sebagai bentuk pilihan yang aplikatif berdasar pada kesadaran dan keterpanggilan menjalankan agama Allah dan menegakkannya di muka bumi.

Sebagai apapun kita adanya itulah kita. Kita tekuni bidang kita. Kita nikmati fokus kita. Jika menjadi petani, nikmatilah profesi bertani. Jika menjadi pedagang di pasar, nikmatilah profesi berdagang. Yang bekerja di kantor, berperilakulah secara istiqomah dan komitmen sebagai aparatur pemerintah. Kesemua bidang kehidupan yang menjadi bagian kita adalah pilihan kita yang tepat sesuai kemampuan dan porsi kita, dan niat yang menjadi motor penggerak non-fisik hendaknya lurus menuju kepada Allah semata.

Motivasi hijrah yang direalisasikan dengan sungguh-sungguh itu merupakan bentuk manifestasi iman yang selama ini Nabi dan para sahabat pegangi dan perjuangkan. Siapapun di antara kaum Muslim dapat memilih dan mengambil ibroh dari spirit berhijrah Nabi saw. Di dalam aspek kehidupan manapun orang berkecimpung, semangat hijrah dapat diaktualisasikan. Pendekatan yang digunakan adalah keimanan.

Dengan semangat hijrah Nabi saw setiap insan Muslim dapat: memperbaiki hubungan persaudaraan dengan siapapun tanpa sekat-sekat politik atau kepentingan; membangun aqidah umat di setiap tempat kita berdomisili; mengedepankan urusan ketuhanan ketimbang masalah duniawi; menerapkan asas keberasaan dan sikap egaliter, tanpa rasa sok kuasa; menyeimbangkan kualitas dan kuantitas hidup; dan sebagainya.

Mengupayakan transformasi nilai-nilai hijrah dalam bentuk nyata keseharian dapat menyelaraskan antara perilaku jasmani dengan keyakinan ruhani. Nilai hijrah tidak sebatas semangat untuk beragama dan bersosial semata, melainkan meneguhkan kualitas keyakinan setiap insan Muslim dalam mengarungi bahtera kehidupan.

Masihkah kita berdiam diri dan tidak mau mengikuti jejak Rasul saw melalui kontekstualisasi hijrah di masa sekarang? Saatnya setiap insan Muslim bergerak, bertindak dan memperbanyak amal demi menegakkan agama Allah —li i'lai kalimatillah.

Moh. In'ami

[email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement