Sabtu 08 Aug 2020 06:07 WIB

Siti Kewe, 'Mantra' Penghargaan Petani Gayo untuk Pohon Kopi

Masyarakat Gayo Aceh memperlakukan kopi selayaknya manusia.

Terry Endahwahyuni, Ketua koper Produsen Bersama Mandiri Sejahtera (Kopsen Bahtera)
Foto: Thoudy Badai
Terry Endahwahyuni, Ketua koper Produsen Bersama Mandiri Sejahtera (Kopsen Bahtera)

Bismillah, Siti Kewe

Kunikahen ko urum kuyu

Baca Juga

Weh Ken Walimu

Tanoh Ken Saksimu

 

Lao Ken Saksi Kalammu

'Mantra' itu yang kerap dibacakan oleh petani-petani kopi di wilayah Aceh Tengah, kala mulai menanam pohon kopi di perkebunan mereka. Ya, bagi petani-petani di wilayah Aceh Tengah, Kopi bukan sekadar tanaman yang bisa menghasilkan keuntungan. Lebih dalam lagi, kopi merupakan bagian tidak terpisahkan dalam napas dan kehidupan masyarakat di Gayo, Aceh.

"Kopi kalau disini namanya Siti Kewe, nah Siti Kewe itu pohon kopi, ketika kita mau tanam ada semacam mantra atau kata-kata penghargaan," ujar Terry Endahwahyuni, Ketua koper Produsen Bersama Mandiri Sejahtera (Kopsen Bahtera), saat ditemui tim Ekspedisi Republikopi di Kampung Hakim Wih Ilang, Kecamatan Bandar, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh.

Terry mengatakan bagi masyarakat Gayo Aceh, kopi adalah napas kehidupan masyarakat. Terry mengungkapkan tradisi minum, menanam, merawat hingga mengolah kopi, sudah diwarisi secara turun temurun dari orang tua, kakek nenek hingga leluhur. Dari mereka, Terry diajarkan untuk memperlakukan tanaman kopi selayaknya manusia.

"Jadi ketika mau menanam, kita menghargai dia seperti makhluk hidup selayaknya, jadi kita nikahkan dia dengan angin, air sebagai walimu, tanah sebagai saksimu, matahari sebagai saksi kalammu," jelasnya.

Terry melanjutkan, bagi masyarkat Aceh, khususnya di wilayah Gayo, minum kopi tak mengenal batas waktu. Sejak bangun di pagi hari, bekerja di siang hari, hingga jelang beristirahat di malam hari, kopi selalu ada menemani. "Ngopi di Gayo sudah seperti minum air putih. Disini setiap orang yang bertamu ke rumah warga di Gayo pasti disuguhkan kopi," ucapnya.

photo
Pemetik kopi di Perkebunan Kopi Pondok Gajah, Bener Meriah, Aceh Tengah - (Thoudy Badai)

Kentalnya budaya dan tradisi masyarakat Gayo juga terlihat dari pemilihan varietas kopi yang ditanam. Hal itu terlihat dari hanya varietas jenis Ateng atau Gayo 1 dan Gayo 2 yang ditanam di lahan-lahan perkebunan. Terry menjelaskan alasan mengapa hanya varietas itu yang dipilih oleh masyarakat. Pertama, karena adanya rasa bangga karena Gayo 1 dan Gayo 2 memang jenis asli dari wilayah Aceh Tengah, yang sudah diakui dan tersetifikasi. Kemudian, terkait citarasa, yang menurutnya jika varietas lain seperti sigarar utang dan lainnya ditanam di wilayah tersebut, maka rasa yang dihasilkan tidak sama.

"Jadi itu ceritanya, Siti Kewe dinikahkan di tanah ini rasanya sama dan selalu sama, jadi jika Gayo 1 dan 2 dinikahkan disini rasanya sama, kalau yang lain tidak sama karena bukan pasangannya," katanya sambil tertawa.

Meski kini budidaya tanaman kopi secara modern sudah sangat berkembang, Terry berharap para petani, khususnya generasi muda, tidak melupakan tradisi dan budaya terkait kopi yang sudah ada secara turun temurun. Dan yang terlebih penting, ia berharap masyarakat bisa kembali menjadikan dan melihat kopi sebagai komoditas yang bisa meningkatkan kesejahteraan.

"Dulu kopi adalah napas masyarkat, ke depan saya berharap kopi tetap menjadi kehidupan untuk petani kopi keseluruhan. karena kopi adalah kehidupan, setiap rasa dan cinta ada di dalam kopi," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement