Selasa 27 Oct 2020 15:55 WIB

Wapres Ingatkan Aspek Penting Pengembangan Ekonomi Syariah

Selain aspek bisnis, aspek kepatuhan prinsip syariah juga menjadi hal wajib.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Friska Yolandha
Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengingatkan dua aspek penting yang harus diperhatikan dalam menjalankan ekonomi dan keuangan syariah. Menurutnya, selain pemenuhan aspek bisnis, aspek kepatuhan prinsip syariah juga menjadi hal wajib.
Foto: KIP/Setwapres
Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengingatkan dua aspek penting yang harus diperhatikan dalam menjalankan ekonomi dan keuangan syariah. Menurutnya, selain pemenuhan aspek bisnis, aspek kepatuhan prinsip syariah juga menjadi hal wajib.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengingatkan dua aspek penting yang harus diperhatikan dalam menjalankan ekonomi dan keuangan syariah. Menurutnya, selain pemenuhan aspek bisnis, aspek kepatuhan prinsip syariah juga menjadi hal wajib.

"Dua hal itu sama pentingnya dan harus berjalan beriringan dalam setiap aktivitas ekonomi dan keuangan syariah," kata Ma'ruf saat menghadiri Seminar Internasional Isu Fikih Kontemporer pada Ekonomi dan Keuangan Syariah secara virtual, Selasa (27/10).

Ia menjelaskan, aktivitas ekonomi syariah yang hanya mengedepankan aspek bisnis tanpa memedulikan kepatuhan prinsip kesyariahan, bisa akan terjerumus pada aktivitas ekonomi yang dilarang agama. Sehingga hasil yang didapat tidak sesuai dan tidak boleh dicatatkan sebagai pendapatan. 

Sebaliknya, aktivitas ekonomi syariah yang hanya mengedepankan aspek kesyariahan tanpa memedulikan aspek bisnis, dapat dipastikan tidak akan berkembang dan bahkan bisa segera bangkrut.

"Oleh karena itu, aspek bisnis dan aspek syariah dua-duanya harus terus melekat dalam setiap aktivitas ekonomi dan keuangan Syariah," katanya.

Namun demikian, Ma'ruf mengakui praktik ekonomi dan keuangan yang saat ini berbeda dengan praktik ekonomi dan keuangan yang berjalan saat awal-awal Islam, yaitu di zaman Nabi dan para sahabat Nabi, atau bahkan di abad pertengahan saat banyak kitab fikih rujukan ditulis. 

Karenanya, saat ini muncul problem menjawab secara syar’i praktik ekonomi yang berjalan, di mana tidak ditemukan secara eksplisit jawabannya di dalam kitab suci al-Quran, Sunnah Rasulullah dan kitab fikih mu’tabarah.

Untuk itu, para ulama kontemporer dituntut untuk melakukan ijtihad, yaitu upaya sungguh-sungguh untuk memberikan jawaban secara syar’i terhadap setiap permasalahan ekonomi yang muncul saat ini.

"Dalam konteks inilah fatwa para ulama kontemporer menjadi sangat penting," ujarnya.

Ia mengatakan, di Indonesia, peran penting itu selama ini dijalankan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Fatwa MUI telah menjadi rujukan resmi dalam pemenuhan aspek kesyariahan, terutama dalam bidang ekonomi dan keuangan.

Ia menjelaskan, fatwa terkait ekonomi secara umum ditetapkan oleh komisi fatwa MUI, sedangkan fatwa terkait keuangan dan bisnis Syariah ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).

Wapres pun menjelaskan, fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI merupakan upaya menjawab ide yang muncul dari berbagai pihak, yakni regulator seperti Bank Indonesia, Kementerian Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan, pelaku usaha, Dewan Pengawas Syariah (DPS) serta inisiatif MUI.

Adapun fatwa MUI terkait ekonomi dan bisnis syariah merupakan titik temu antara nilai-nilai muamalah Islami dengan pranata bisnis yang ditetapkan melalui ijtihad kolektif antara para ulama dan cendekiawan multi disiplin ilmu.

“Sehingga output fatwanya bisa implementatif dan benar-benar memberikan solusi terbaik bagi para regulator, pelaku usaha dan umat Islam secara umum,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement