Selasa 29 Sep 2020 06:18 WIB

Tiga Poin Kritis dalam Pelaksanaan Sertifikasi Halal

Dibutuhkan anggaran Rp 12,6 triliun untuk menanggung biaya sertifikasi halal bagi UMK

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Formulir Sertifikasi Halal ke LPPOM MUI agar suatu produk mendapatkan sertifikat halal.
Foto: Republika/Andi Nur Aminah
Formulir Sertifikasi Halal ke LPPOM MUI agar suatu produk mendapatkan sertifikat halal.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, ada tiga poin kritis dalam pelaksanaan sertifikasi halal. Salah satunya, kesiapan anggaran pemerintah untuk membantu Usaha Mikro dan Kecil (UMK) dalam membayar tarif.

Direktur Jenderal Perbendaharaan Andin Hadiyanto mengatakan, setidaknya dibutuhkan anggaran Rp 12,6 triliun untuk menanggung biaya sertifikasi halal bagi UMK. Angka tersebut didapatkan dengan menggunakan data jumlah menurut Badan Pusat Statistik (BPS), yaitu mencapai 3,7 juta UMK.

Baca Juga

Untuk mendapatkan sertifikat halal, mereka harus mengeluarkan Rp 3,4 juta. Biaya ini sudah termasuk untuk Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), pendaftaran hingga sertifikasi halal.

"Ini ilustrasi, tapi kurang lebih total kebutuhan dananya sekitar Rp 12,6 triliun," ujar Andin dalam Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR di Gedung DPR Jakarta, Senin (28/9).

Salah satu upaya untuk pemenuhan anggaran itu adalah dengan subsidi silang. Andin memberikan contoh, dengan menggunakan margin biaya sertifikasi halal Usaha Menengah dan Besar (UMB).

Dalam usulan yang disampaikan Kementerian Agama, UMB harus membayar sekitar Rp 5 juta untuk mendapatkan sertifikasi halal. Apabila jumlah UMB di Indonesia saja 66.200 buah, maka dana yang terkumpul mencapai Rp 331 miliar.

Sedangkan, Andin mengatakan, biaya satuan (unit cost) yang dibutuhkan pemerintah untuk sertifikasi UMB tersebut hanya Rp 225 miliar. Artinya, ada sisa Rp 106 miliar yang bisa dimanfaatkan untuk menutupi kebutuhan sertifikasi UMK. "Itu bisa cover biaya yang UMK gratis," ucapnya.

Saat ini, Andin menjelaskan, Kemenkeu sebagai bendahara negara masih terus menghitung tarif sertifikasi halal yang memang cocok dan layak untuk dunia usaha. Kajian ini dilakukan bersama Kementerian Agama (Kemenag), BPJPH dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).

Terbaru, Kemenag sudah mengeluarkan besaran usulan tarif ke Kemenkeu. Tapi, menurut Andin, Kemenkeu masih terus mengkaji dan menyelaraskan usulan itu dengan anggaran maupun Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.

Nantinya, Andin mengatakan, Kemenkeu akan menetapkan tarif sertifikasi halal di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dalam bentuk range. Tujuannya, memberikan fleksibilitas bagi BPJPH sebagai Badan Layanan Umum (BLU) untuk mengatasi situasi yang dinamis.

Poin kritis kedua yang disebutkan Andin adalah kepastian dan transparansi tarif Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Poin ini menjadi penting karena LPH merupakan pihak yang berperan penting dalam mandatory sertifikasi halal.

"Itu juga harus transparan, dan harus diatur lebih lanjut di BPJPH," ujarnya.

Kemudian, kesiapan operasionalisasi BPJPH itu sendiri. Andin berharap, begitu tarif sudah ditetapkan oleh Kemenkeu, dapat langsung dieksekusi agar efektif. Oleh karena itu, keberadaan SOP yang jelas harus segera dimiliki BPJPH.

Di sisi lain, dalam sertifikasi, ada beberapa hal yang harus disiapkan. Mulai dari pelaksanaan sidang fatwa, akreditasi LPH dan sertifikasi auditor. "Jadi, sertifikasi halal tidak sekadar berbicara tarif, juga pihak terkait dan kemampuan mereka," kata Andin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement