Selasa 20 Sep 2022 11:45 WIB

Badan Pangan Kaji Kebijakan Tarif untuk Kedelai Impor

Kedelai lokal yang dihasilkan petani dapat bersaing dengan kedelai impor.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Perajin tahu dan tempe mmeriksa kualitas kedelai impor bersubsidi. ilustrasi
Foto: ANTARA/Irwansyah Putra
Perajin tahu dan tempe mmeriksa kualitas kedelai impor bersubsidi. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Badan Pangan Nasional (NFA) menyatakan tengah mengkaji kebijakan tarif untuk kedelai impor. Melalui kebijakan itu, harga kedelai impor yang selama ini lebih murah dari produksi lokal diupayakan setara. Hal itu agar kedelai lokal yang dihasilkan petani dapat bersaing dengan impor.

"Kita akan coba terapkan semacam tarif (impor). Jadi kalau dibebani tarif, nanti angkanya akan lebih bersaing dengan lokal. Kita akan pelajari," kata Kepala NFA, Arief Prasetyo Adi saat ditemui di Bekasi, Selasa (20/9/2022).

Baca Juga

Arief menjelaskan, saat ini rata-rata harga kedelai impor berdasarkan Chicago Board of Trade (CBOT) berada pada kisaran Rp 7.700 per kg. Sementara, pemerintah tengah mengkaji kebijakan harga acuan pembelian untuk kedelai lokal di kisaran Rp 10 ribu per kg.

Harga kedelai lokal selama ini memang jauh lebih mahal lantaran biaya produksi yang tinggi karena rendahnya produktivitas. Tercatat, rerata produktivitas kedelai lokal hanya 1-1,5 ton per ha, lebih rendah dari tingkat produktivitas kedelai di negara-negara produsen dunia sekitar 3-4 ton per ha.

"Kita mau angkanya sekitar Rp 10 ribu per kg, kita beli di petani. Itu nanti kita lihat dan ini harus segera karena kita mau mendorong produksi kedelai di dalam negeri," katanya.

Adanya kebijakan harga lokal dan kebijakan tarif untuk kedelai impor diharapkan meningkatkan daya saing produksi lokal. Petani juga lebih mendapat kepastian karena tak perlu khawatir harga akan jatuh karena adanya kedelai impor.

 "Kalau menanam kedelai untung, tidak usah diminta, para petani pasti mau menanam. Tapi kalau menanam harganya jatuh, ini akan sulit," ujarnya.

NFA mencatat, dari kebutuhan kedelai nasional sekitar 3 juta ton untuk konsumsi tahu dan tempe, produksi lokal hanya sekitar 250 ribu ton. Kedelai lokal pun tak bisa bersaing secara langsung dengan impor karena produktivitas yang rendah dan harga yang tinggi.

Arief menuturkan, Presiden Joko Widodo juga memberikan kesempatan untuk mencoba teknologi transgenik bibit kedelai atau genetically modified organism (GMO). "Gunakan GMO tapi yang aman, karena apa? kedelai yang diimpor itu GMO tapi kenapa kalau kita mau produksi sendiri tidak boleh pakai bibit GMO?" ujarnya.

Adapun, Arief menyebut, rencana pengembangan kedelai akan dilakukan di lahan seluas 600 ribu hektare. Namun untuk tahap awal pengembangan akan dilakukan pada lahan sekitar 350 ribu hektare. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement