Kamis 10 Jun 2021 15:29 WIB

Rencana Pajak Sembako Picu Inflasi Tahun Depan

Potensi kenaikan inflasi tahun depan sekitar satu persen sampai 2,5 persen.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Inflasi, ilustrasi
Foto: Pengertian-Definisi.Blogspot.com
Inflasi, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Narasi Institute menilai, rencana pemerintah mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen terhadap kebutuhan pokok hingga iuran jasa pendidikan memicu inflasi 2021. Sebab, pengenaan pajak kebutuhan pokok akan mendorong masyarakat membeli sembako di luar kebutuhan.

Ekonom Narasi Institute Achmad Nur Hidayat mengingatkan, pengenaan PPN akan berkaitan langsung dengan laju inflasi tahun ini dan tahun depan.

“Meski pemberlakukan kenaikan tarif PPN tidak diberlakukan 2021, namun rencana kenaikan pajak tersebut dapat memicu inflasi 2021. Rencana kenaikan PPN terhadap sembako akan mendorong masyarakat membeli sembako di luar kebutuhan karena takut harganya naik ulah PPN 12 persen," ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (10/6).

Menurutnya, potensi kenaikan inflasi tahun depan sekitar satu persen sampai 2,5 persen, sehingga jika penerapan PPN terealisasi maka bisa mencapai 2,18 persen sampai 4,68 persen. Selain menimbulkan inflasi yang memberatkan konsumen secara umum, Achmad menyebut, kenaikan PPN 12 persen terhadap kebutuhan pokok dari produksi pertanian akan menyebabkan petani kecil kehilangan kesejahteraan dan akhirnya makin miskin di tengah pandemi.

Hal itu bisa terjadi karena petani kecil semakin sulit menjual produknya di saat konsumen makin mengerem belanja imbas kenaikan PPN tersebut. Maka itu, Achmad menyarankan kepada pemerintah, sebaiknya ide kenaikan PPN kebutuhan pokok, pendidikan, dan kesehatan dibatalkan karena manfaatnya lebih kecil dibandingkan bahayanya. 

Menurutnya hal tersebut lebih baik daripada kenaikan PPN justru menimbulkan inflasi di saat ekonomi masih lemah. Dia menyarankan RUU KUP sebaiknya fokus kepada pemberlakuan pajak dari e-commerce dan perusahaan teknologi yang naik daun seperti TikTok, Gojek, Google, Facebook dan Apple.

“Indonesia sebaiknya ikut G7 yang sudah menyepakati pemberlakukan pajak yang lebih ketat terhadap perusahaan raksasa teknologi. Facebook yang memiliki Instagram dan WhatsApp menikmati keberlimpahan big data dari Indonesia, sementara pajak mereka masih rendah,” katanya.

BACA JUGA: Pantaskah Megawati Raih Profesor Kehormatan Unhan? Ini Penilaian Seorang Profesor IPB 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement