Jumat 04 Sep 2020 00:36 WIB

Pemerintah Ajukan UU Bea Meterai Baru, Ini Alasannya

Banyak poin dalam UU Bea Materai yang perlu diperbarui.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Petugas memperlihatkan materai 6.000 di Kantor Pos Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, Jumat (22/11).
Foto: SYIFA YULINNAS/ANTARA FOTO
Petugas memperlihatkan materai 6.000 di Kantor Pos Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, Jumat (22/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang (RUU) Bea Meterai yang baru akan segera dibahas di tingkat dua atau Rapat Paripurna. Pada Kamis (3/9), Komisi XI DPR dengan pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sudah terlebih dahulu membahas dan menyepakati rancangan beleid.

RUU Bea Meterai baru akan menggantikan regulasi sebelumnya, yakni UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. Pembahasan rancangan beleid yang berisikan 32 pasal ini merupakan lanjutan dari keanggotaan periode 2014-2019.

Baca Juga

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan alasan utama pemerintah mengganti UU Bea Meterai adalah banyak poin yang patut diperbaharui. Seperti diketahui, beleid lama sudah berusia 34 tahun dan sama sekali belum pernah dilakukan amandemen atau revisi.

Salah satu poin yang dimaksud Sri adalah pengenaan bea meterai pada dokumen digital. Pada beleid terdahulu, bea hanya dikenakan pada dokumen kertas. 

 

"Sejalan dengan makin berkembangnya teknologi, di mana banyak dokumen dilakukan digital, maka RUU ini memasukkan perkembangan tersebut," ucapnya usai Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR.

Sri menyebutkan, penerapan bea meterai pada dokumen digital merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menciptakan kesetaraan. Selain itu, memberikan kepastian hukum pada dokumen yang sifatnya non-kertas.

Faktor berikutnya, penyesuaian harga. Sri menjelaskan, selama 34 tahun, besaran bea meterai tidak mengalami perubahan di tengah dinamika inflasi. 

"Jadi, ini kita melakukan penyesuaian," tuturnya.

Dalam beleid RUU bea Meterai, pemerintah menetapkan tarif Rp 10 ribu dari sebelumnya Rp 3.000 dan Rp 6.000.

Di sisi lain, Sri mengatakan, pemerintah juga memberikan beberapa relaksasi. Pertama, pemberlakuan UU Bea Meterai baru dilakukan pada 1 Januari 2020. Kebijakan ini diambil untuk memberikan waktu kepada masyarakat dan dunia usaha dalam melakukan penyesuaian.

Pemberian jeda waktu pelaksanaan bea meterai yang lama juga untuk memberi kesempatan bagi pemerintah dalam menyiapkan aturan turunannya. "Sosialisasi dari berbagai hal yang menyangkut UU ini juga masih perlu dilakukan. Kami akan gunakan waktu ini," ujar Sri.

Relaksasi kedua, mengenai pembebasan bea meterai terhadap dokumen dengan nilai di bawah atau sama dengan Rp 5 juta. Sri mengatakan, kebijakan ini merupakan bentuk pemihakan, termasuk kepada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Pembebasan juga diberikan kepada beberapa jenis dokumen. Misalnya, dokumen terkait penanganan bencana alam dan kegiatan bersifat keagamaan maupun sosial. Dokumen yang berhubungan dengan program pemerintah dalam melakukan perjanjian internasional juga tidak akan dikenakan bea meterai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement