Jumat 07 Aug 2020 10:58 WIB

Disebut Menuai Laba, Begini Tanggapan BPJS Kesehatan

Sistem Jaminan Sosial Kesehatan yang jadi dasar BPJS Kesehatan berprinsip nirlaba

Kepala Humas BPJS Kesehatan, M Iqbal Anas Ma’ruf.  Sistem Jaminan Sosial Kesehatan (SJSN) yang menjadi dasar BPJS Kesehatan dalam menjalankan Program JKN-KIS, berpegang pada prinsip nirlaba.
Foto: BPJS Kesehatan
Kepala Humas BPJS Kesehatan, M Iqbal Anas Ma’ruf. Sistem Jaminan Sosial Kesehatan (SJSN) yang menjadi dasar BPJS Kesehatan dalam menjalankan Program JKN-KIS, berpegang pada prinsip nirlaba.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beredarnya kabar bahwa BPJS Kesehatan mendulang keuntungan atau laba dengan adanya kenaikan iuran JKN-KIS, ditepis oleh Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma'ruf. Ia menjelaskan, Sistem Jaminan Sosial Kesehatan (SJSN) yang menjadi dasar BPJS Kesehatan dalam menjalankan Program JKN-KIS, berpegang pada prinsip nirlaba. 

"Sebagai badan hukum publik, BPJS Kesehatan menganut prinsip nirlaba. Artinya, pengelolaan Program JKN-KIS oleh BPJS Kesehatan mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh peserta," ungkap Iqbal, Kamis (6/8). 

Iqbal menerangkan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Pasal 40, BPJS Kesehatan mengelola dua jenis aset, yaitu aset Dana Jaminan Sosial (DJS) dan aset Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). BPJS Kesehatan wajib memisahkan aset DJS dan aset BPJS.

"Aset DJS merupakan dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya yang dikelola oleh BPJS Kesehatan untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan program jaminan sosial," papar Iqbal.

Sementara, aset BPJS adalah aset lembaga atau badan yang menyelenggarakan program jaminan sosial yang bersumber dari modal awal dari Pemerintah, hasil pengalihan aset BUMN yang menyelenggarakan program jaminan sosial, hasil pengembangan aset BPJS, dana operasional yang diambil dari DJS dan/atau sumber lain yang sah, untuk digunakan sebagai biaya operasional penyelenggaraan program jaminan sosial, biaya pengadaan barang dan jasa, biaya untuk peningkatan kapasitas pelayanan dan investasi dalam instrumen investasi.

"Penting diperhatikan bahwa dalam menyajikan laporan keuangan, BPJS Kesehatan menampilkan dua jenis laporan keuangan, yaitu laporan keuangan DJS dan laporan keuangan BPJS. Jadi harus diluruskan, yang dimaksud laba itu aset yang mana, aset DJS atau aset BPJS," kata Iqbal. 

Pada tahun 2019, laporan keuangan DJS (audited) mencatat aset neto sebesar minus Rp 50,99 triliun, menurun sebesar Rp 17,04 triliun dari realisasi tahun 2018 sebesar minus Rp 33,96 triliun. Per 31 Desember 2019, DJS mencatat total aset sebesar Rp 1,68 triliun, menurun 12,42 persen dari tahun 2018 sebesar Rp 1,91 triliun.

Sedangkan untuk BPJS, laporan keuangan tahun 2019 (audited) mencatat laba tahun berjalan sebesar Rp 369,07 miliar, meningkat Rp 426,40 miliar dari realisasi tahun 2018 sebesar minus Rp 57,33 miliar. Peningkatan laba tahun berjalan tersebut terutama ditopang oleh capaian pendapatan investasi yang meningkat Rp 306,76 miliar (neto) dari tahun 2018 sejalan dengan membaiknya kondisi ekonomi, dengan Yield on Investment (YOI) sebesar 7,46 persen meningkat 92,76 persen dari tahun 2018 sebesar 3,87 persen. Per 31 Desember 2019, BPJS mencatat total aset sebesar Rp 13,26 triliun, meningkat 4,50 persen dari tahun 2018 sebesar Rp 12,69 triliun.

"Jadi perlu kami luruskan bahwa aset DJS dan aset BPJS Kesehatan adalah dua hal yang dikelola secara terpisah, sehingga tidak benar jika kenaikan iuran berpengaruh terhadap laba BPJS Kesehatan," ucap Iqbal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement