Selasa 18 Jan 2022 08:15 WIB

Kejar Net Zero Carbon, ESDM Mulai Kembangkan Nuklir

Proyek uji coba nuklir akan dilakukan di Babel dan Kalimantan untuk membangun PLTN

Rep: intan pratiwi/ Red: Hiru Muhammad
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (P3GL) Badan Litbang ESDM teleh menyelesaikan survei pendahuluan (recognize survey) geologi kelautan geologi kelautan pada calon tapak pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di pesisir pantai Provinsi Kalimantan Barat pada Senin, (31/5).
Foto: istimewa
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (P3GL) Badan Litbang ESDM teleh menyelesaikan survei pendahuluan (recognize survey) geologi kelautan geologi kelautan pada calon tapak pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di pesisir pantai Provinsi Kalimantan Barat pada Senin, (31/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kementerian ESDM mulai melakukan pengembangan nuklir. Hal ini merupakan salah satu jalan pintas untuk bisa mempercepat net zero carbon.

Dirjen EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menjelaskan saat ini pemerintah mulai menjalankan peta jalan untuk mencapai net zero carbon. Salah satu strateginya adalah dengan pengembangan pembangkit listrik energi nuklir 5 Gigawatt (GW). "Kami memang mulai melakukan kajian dan pengembangan nuklir setelah 2040 mendatang," ujar Dadan di Kementerian ESDM, Senin (17/1).

Baca Juga

Selain itu, kata Dadan dari studi yang sudah dilakukan pemerintah proyek uji coba nuklir akan dilakukan di Bangka Belitung dan Kalimantan untuk pembangunan PLTN. "Studi untuk PLTN leading sektor kajiannya ada di Batan. Badan Litbang ESDM juga melakukan kajian, termasuk yang ada di Bangka Belitung dan Kalimantan," jelas Dadan.

Adapun, besaran investasi yang dibutuhkan dalam membangun PLTN, kata Dadan, akan bervariasi tergantung dari kelas pembangkitnya, teknologi yang digunakan, dan kapasitasnya.

 

Dari sisi harga listrik misalnya, yang diproduksi dari PLTN, berdasarkan studi yang pernah dilakukan akan mencapai 9 sen dolar AS hingga 10 sen dolar AS per kilo Watt hour (kWh). Ada pula yang menyebut 7 sen dolar AS per kWh."Jadi dari sisi harga, sebetulnya sudah mulai cukup menarik. Tapi dari pemerintah sesuai dengan regulasi yang sekarang, kebijakan ini adalah memastikan secara teknologi harus yang proven (terbukti) dan sudah ada contoh komersialnya," ujarnya.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement