Selasa 07 Jul 2020 10:40 WIB

Konsumsi Rumah Tangga Jepang Menurun Signifikan

Pemotongan konsumsi terbesar terjadi pada pengeluaran untuk hotel dan transportasi.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Pengeluaran rumah tangga Jepang turun dengan laju tercepat pada Mei seiring dengan tekanan terhadap konsumen untuk tetap berada di rumah guna menahan tingkat penyebaran virus corona.
Foto: EPA-EFE/FRANCK ROBICHON
Pengeluaran rumah tangga Jepang turun dengan laju tercepat pada Mei seiring dengan tekanan terhadap konsumen untuk tetap berada di rumah guna menahan tingkat penyebaran virus corona.

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Pengeluaran rumah tangga Jepang turun dengan laju tercepat pada Mei seiring dengan tekanan terhadap konsumen untuk tetap berada di rumah guna menahan tingkat penyebaran virus corona. Kondisi ini mendorong ekonomi terbesar ketiga dunia tersebut semakin ke dalam penurunan.

Seperti dilansir Reuters, Selasa (7/7), pengeluaran rumah tangga Jepang merosot 16,2 persen pada Mei dibandingkan tahun sebelumnya. Menurut data pemerintah, ini menjadi penyusutan dengan laju tercepat sejak 2001. Penurunan itu lebih besar dibandingkan perkiraan pasar rata-rata, yakni 12,2 persen, memperpanjang laju penurunan 11,1 persen pada April.

Baca Juga

Pemotongan konsumsi terbesar terjadi pada pengeluaran untuk hotel, transportasi dan kegiatan makan di luar rumah seiring kebijakan stay at home. Di sisi lain, kebijakan ini mendorong pengeluaran masyarakat terhadap daging babi, alkohol dan barang saniter seperti masker wajah dan handuk kertas.

Liburan Golden Week selama 10 hari yang belum pernah terjadi sebelumnya pada tahun lalu membuat penurunan pengeluaran lebih terasa. Saat itu, tercatat pengeluaran di sektor pariwisata yang lebih besar dari biasanya. Liburan dilakukan untuk merayakan penobatan Putra Mahkota Naruhito.

Penurunan pengeluaran yang besar akan menambah tekanan bagi pembuat kebijakan untuk meningkatkan berbagai langkah dalam memulihkan kepercayaan di kalangan bisnis, terutama konsumen.

Pemulihan belanja diperkirakan akan berjalan lambat dan rentan. Sebab, rumah tangga enggan untuk melonggarkan dompet bahkan setelah keadaan darurat nasional dicabut pada Mei. "Laju pemulihan mengkhawatirkan," kata kepala ekonom di Itochu Economic Research Institute Atsushi Takeda.

Meski pemerintah telah meluncurkan berbagai langkah kebijakan, Takeda menilai, akan sulit bagi Jepang untuk keluar dari dampak pandemi dengan cepat. Diketahui, pemerintah telah menyusun dua paket belanja senilai 2,2 triliun yen untuk mengimbangi pukulan pandemi, termasuk dengan memberikan uang tunai 100 ribu yen per warga.

Secara keseluruhan, prospek pengeluaran rumah tangga untuk bulan-bulan mendatang masih redup karena tingkat pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat. Khususnya di perusahaan-perusahaan sektor jasa yang membebani sentimen.

Data terpisah pada Selasa menunjukkan, upah riil yang disesuaikan dengan inflasi Mei turun pada laju tercepat sejak Juni 2015. Ini menambah tanda-tanda tekanan di pasar tenaga kerja.

Di tengah tekanan, Bank of Japan (BoJ) diperkirakan akan mempertahankan pandangannya bahwa ekonomi akan berangsur pulih akhir tahun ini. Bank sentral akan menyampaikan laporan kuartalannya pada pekan depan.

Para pembuat kebijakan berharap, kenaikan permintaan domestik akan cukup kuat untuk membawa pemulihan ekonomi selama negara tersebut mampu mencegah gelombang kedua infeksi Covid-19. Tapi, tingkat pengeluaran dapat mengalami pukulan lebih besar ke depannya jika prospek bisnis yang memburuk memaksa perusahaan memangkas bonus pekerja, terutama saat musim dingin, atau memberhentikan lebih banyak pekerja.

"Pada gilirannya, itu dapat menyebabkan tingkat pendapatan turun lebih jauh. Saya prediksi, fase konsumsi yang memburuk akan menguat pada paruh kedua tahun ini," tutur kepala ekonom di Norinchukin Research Institute, Takeshi Minami.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement