Rabu 28 Jul 2021 08:57 WIB

Jogokariyan Buktikan Praktik Radikal tak Selalu Negatif

Praktik radikal pada dasarnya tidak selalu berkonotasi negatif

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah
Praktik radikal pada dasarnya tidak selalu berkonotasi negatif. Ilustrasi Masjid Jogokariyan, Yogyakarta,.
Foto: Wihdan Hidayat/ Republika
Praktik radikal pada dasarnya tidak selalu berkonotasi negatif. Ilustrasi Masjid Jogokariyan, Yogyakarta,.

REPUBLIKA.CO.ID, — Kata radikal tak selamanya identik dengan terorisme. Radikalisme secara bahasa berasal dari kata raddix atau mengakar, tidak hanya mengacu pada tindakan negatif.

Ketua Dewan Syura Takmir Masjid Jogokariyan, Ustadz Muhammad Jazir ASP, membagi pengalamannya yang berupaya memberikan perubahan bagi masjid secara radikal.

Baca Juga

Seperti di ketahui, Masjid Jogokariyan, Yogya kar ta, tidak hanya menjadi tempat pelaksanaan ritual ibadah individual sema ta. Lebih dari itu, masjid tersebut jus tru menjadi pusat sosialisasi masyara kat setempat. "Saya itu bukan radikal, tapi superradikal,"ujar dia kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Ustadz kelahiran 1962 ini dengan sukses membawa perubahan radikal yang menjadikan masjidnya sebagai pusat peradaban. Hasilnya, masjid tersebut kini mampu bertransformasi menjadi tulang punggung kepercayaan umat. Melalui aksi sosialnya, Masjid Jogokariyan mampu menjalankan sejumlah program yang memakmurkan lingkungan sekitar.

Dia membeberkan, perubahan masjid untuk menjadi pusat peradaban memang harus dilakukan secara radikal. Misalnya dengan mengatur manajemen yang transparan dan yang berbentuk partisipatif. Tak hanya itu, masjid juga harus melakukan pendekatan dakwah yang berorientasi pada kesejahteraan. "Harus dikelola (masjidnya), bentuknya partisipatif dan juga transparan," kata dia.

Lebih lanjut dia mengungkapkan, sudah selayaknya masjid berperan melayani umat selama 24 jam. Masjid juga tidak diperkenankan untuk ditu tup dari umat yang berada di kawasan tersebut. Istilahnya, kata dia, masjid harus dijadikan pusat layanan masya rakat.

Untuk itu, dia kerap menekan kan bahwa sesungguhnya pengurus masjid ialah mereka yang menjadi pelayan jamaah, bukan justru menjadi penguasa masjid. Sebagai pusat peradaban umat, sirkulasi dan ruang gerak masjid seolah menjadi urat nadi dan napas bagi masyarakat itu sendiri.

Memakmurkan masjid, dimakmurkan masjid, hal itulah kira-kira yang bisa ditangkap dari perubahan yang dilakukannya. Apabila perubahan itu tidak dilakukan secara radikal, kata dia, akan sulit bagi umat Islam dan jamaah masjid menyemarakkan aktivitas di masjid itu sendiri.

Dia juga menekankan bahwa sejatinya masjid merupakan ruang terbuka bagi setiap elemen umat. Umat di sini berarti yang berada dalam semua manhaj dan mazhab dalam Islam.

Namun demikian, menurut dia, untuk memulai perubahan yang radikal itu dibutuhkan perubahan pola pikir para pengurus masjid itu sendiri. "Memang harus dimulai dari perubahan mindset. Kita harus mulai melek bahwa masjid ini adalah pusat peradaban Islam di suatu lingkungan," ungkap dia. 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement