Kamis 03 Dec 2020 05:26 WIB

Ini Penjelasan Ekstremisme versus Wasathiyah

Perlu kerja sama dari semua pihak sambil memberi penjelasan sejak dini.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Muhammad Fakhruddin
Ini Penjelasan Ekstremisme versus Wasathiyah (ilustrasi).
Foto: MGROL100
Ini Penjelasan Ekstremisme versus Wasathiyah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Fenomena ekstremisme semakin meluas di sejumlah negara. Ini merupakan akibat dari syarat wasathiyya atau moderasi Islam diabaikan. Esktremisme lahir dari kebodohan terhadap ajaran agama dan ketidakhati-hatian membaca situasi yang disertai fanatisme atau emosi berlebihan. Sehingga yang bersangkutan, baik individu maupun kelompok bersikap dan bertindak melampaui batas.

Biasanya, mereka yang ekstrem menolak untuk berdiskusi. Jika bersedia, kesediaannya hanya agar pendapatnya didengarkan sedangkan mereka menutup diri dari pertimbangan atau pandangan pihak lain. Sementara penganut wasathiyyah selalu terbuka, bukan saja untuk berdiskusi, melainkan juga terbuka mengoreksi pendapatnya dan menerima pendapat pihak lain.

Dijelaskan dalam buku Wasathiyyah Wawasan Islam tentang Moderasi Agama oleh Prof. M.Quraish Shihab, penganut ekstrem menyatakan dengan ucapan atau sikapnya hanya mereka yang pasti benar dan lainnya salah. Pandangan mereka bersifat final sesuai dengan setiap zaman dan tempat. Penganut wasathiyyah tidak demikian. Mereka bersemboyan “pendapat kami benar tapi mungkin salah dan pendapat anda salah tapi mungkin benar.”

Penganut ekstrem menganggap segala persoalan telah selesai, kalau belum maka harus merujuk ke sumber yang digunakannya. Sedangkan penganut wasathiyyah berpendapat masih banyak persoalan yang masih harus dicari solusinya dengan merujuk kepada Alquran, sunnah, kaidah-kaidah yang disepakati, serta menggunakan metode ulama masa lalu yang masih relevan.

Mereka yang ekstrem juga menolak kehadiran apa pun dan siapa pun yang berbeda dengannya. Penolakannya dapat berlanjut dengan upaya menyingkirkan perbedaan dan pada gilirannya mereka mengafirkan dan menampilkan kekerasan. Penganut wasathiyya tidak mengafirkan siapa pun, termasuk mereka yang mengucapkan dua kalimat syahadat kendati masih banyak dosa besar. Mereka mengakui keragaman dengan menghormati pendapat pihak lain sehingga hidup bisa berjalan secara damai.

Para penganut ekstrem bisa saja ibadahnya tekun, sering membaca Alquran, shalat malam, dan puasa sunnah. Namun, mereka sering berburuk sangka dan tidak menampilkan akhlak Islam yang penuh toleransi. Penganut wasathiyyah bisa juga mereka yang tidak banyak ibadahnya tapi luhur akhlaknya dan selalu tampil dengan ramah dan santun.

Dari uraian di atas, terlihat ekstremisme dinilai sebagai suatu penyakit. Oleh karena itu, perlu cara mencegahnya. Sebelum dicegah, ada baiknya melakukan diagnosis penyebabnya. Prof. Quraish Shihab menjelaskan dalam bukunya, untuk mengatasi ekstremisme sebaiknya dihadapi dengan menjelaskan ajaran Islam yang penuh kasih sayang dan disampaikan dengan sikap yang menimbulkan simpati.

Perlu kerja sama dari semua pihak sambil memberi penjelasan sejak dini terutama kepada generasi muda. Tidak hanya melalui pendidikan, tapi juga keteladanan dalam rumah tangga dan masyarakat. Di samping itu, perlu adanya penegakkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat sambil mengundang para ulama dan cendekiawan untuk vokal menghadapi ekstremisme. Sebab, bersikap diam bisa menjadi setan yang membisu. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement