Kamis 26 Mar 2020 19:36 WIB

Pandangan Fikih NU Tentang Sholat Tenaga Kesehatan Covid-19

Lembaga Kajian Fikih NU menilai adanya dispensasi untuk tenaga medis.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Nashih Nashrullah
Petugas medis membawa pasien ke ruang isolasi saat simulasi penanganan pasien virus corona, ilustrasi.
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Petugas medis membawa pasien ke ruang isolasi saat simulasi penanganan pasien virus corona, ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) memberikan pendapat mengenai ketentuan sholat bagi petugas medis Covid-19 yang menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap. 

Hal ini untuk merespons permintaan Wakil Presiden Ma'ruf Amin kepada ormas Islam di Indonesia dan MUI untuk membahas hukum/fatwa sholat bagi tenaga medis Covid-19. 

Baca Juga

LBM PBNU dalam siaran pers yang diterima wartawan, Kamis (26/3) mengeluarkan beberapa opsi terkait ketentuan sholat bagi petugas medis Covid-19 yang selama delapan jam penuh tidak bisa melepaskan APD. 

Sebab, APD merupakan alat yang wajib digunakan untuk meningkatkan keselamatan diri tenaga medis dan sudah menjadi standard perlindungan diri agar tidak tertular Covid-19. 

APD tersebut meliputi baju hazmat, kacamata-google, penutup kepala, masker N-95, sarung tangan, serta sepatu boot.  Apalagi APD ini harganya cukup mahal dan hanya dipakai satu kali, maka pemakaiannya berlangsung selama satu shift yaitu enam sampai tujuh jam. 

Bagi petugas yang mendapatkan jatah shift pagi pukul 08.00-14.00, tentu bukan sebuah masalah. Namun akan menjadi beda bila shift pukul 14.00-21.00 karena melewatkan sholat Ashar dan Maghrib.  

Pertama, karena saat ini tenaga medis Covid-19 berada dalam kondisi mendesak atau lil hajah maka tenaga medis tersebut boleh melakukan sholat jamak asal tidak dilakukan secara rutin terus-menerus. Ketentuan ini sejalan dengan hadist riwayat Bukhari serta diperinci Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab Fath al Bari bi Syarhi Shahih Al Bukhari juz II halaman 24. 

Kitab Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdab Juz 5 halaman 503-505, juga menyampaikan bahwa Imam Ibnu Sirin membolehkan jama’ lil hajah (menjamak karena ada kepentingan tertentu) dengan ketentuan serupa yaitu asal tidak dijadikan kebiasaan.

Opsi kedua, petugas medis tersebut bisa tetap menjalankan sholat sesuai waktunya, tanpa harus menjamak, meskipun dalam keadaan tidak suci atau hadats karena tidak dapat berwudhu atau tayamum, tidak bisa sujud, atau badan/pakaian terkena najis, dan lainnya. “Mereka dapat melaksanakan semampunya untuk menghormati waktu sholat (lihurmatil waqti),” katanya. 

Pada opsi kedua ini, yakni tetap sholat dalam kondisi tidak suci, terdapat duadua pendapat ulama. Pertama, sholat tersebut harus diganti atau diulang di lain waktu yang memungkinkan, ini sejalan dengan pandangan Imam Syafi’i yang mengatakan orang yang menjalankan sholat lihurmatil waqti tetap wajib mengulang atau mengqadha sholatnya bila sudah dalam kondisi memungkinkan.  “Karena kesibukan yang dialami dokter dan tenaga medis pasien covid-19 hanya terjadi pada saat wabah saja, tidak dijadikan kebiasaan, sehingga kewajiban mengulang sholat yang dilaksanakan secara tidak sempurna pada waktunya tetap berlaku,” tulis LBM NU. 

Sementara pendapat lain mengatakan, sholat lihurmatil waqti tersebut tidak perlu diulang atau diqadha. Ini sesuai dengan kitab karangan Yahya bin Syaraf Al Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab juz II, halaman 303 sampai 304. Kemudian, pendapaat terakhir yang menyatakan tetap menjalankan sholat ketika masuk waktunya sesuai dengan keadaan dan tidak wajib mengulanginya (mengqadha) ini dianggap lebih kuat dalilnya.  

Hal ini disampaikan Muhyiddin Syarf An Nawawi dalam kitabnya Syarhu Shaihil Muslim bin Al Hajjaj Juz III halaman 103. “Atas pertimbangan ini, maka tenaga medis yang memakai APD dapat juga memilih pendapat yang menyatakan wajibnya sholat seketika itu sesuai keadaannya, tanpa harus mengulang atau mengqadha,” tulis LBM NU. 

Meski demikian, LBM PBNU menilai tenaga medis dan dokter yang mengurus pasien Covid-19 itu tetap berkewajiban melaksanakan sholat fardhu lima waktu karena kewajiban sholat tidak dapat digugurkan oleh ruang, waktu, dan keadaan, sesuai Firman Allah SWT dalam Alquran surat An-Nisa ayat 103. 

Namun, tenaga medis yang mendapatkan shift siang sampai malam tersebut, tutur LBM PBNU, sudah masuk dalam kondisi masyaqqah (kesulitan), sehingga berhak mendapatkan rukhsah (dispensasi). Untuk itu, menurut kajian LBM PBNU, dalam menjalankan kewajiban sholatnya, petugas medis Covid-19 bisa memilih beberapa opsi tersebut.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement