Kamis 11 Jun 2020 13:44 WIB

Balasan Malu kepada Allah

Sabda Nabi, “Malulah kalian pada Allah SWT dengan sebenar-benarnya.”

Seorang kakek membaca Al Quran di Yaman.
Foto: REUTERS/Khaled Abdullah
Seorang kakek membaca Al Quran di Yaman.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA

Syaikh Muhammad bin Abi Bakar dalam karyanya Mawaidz al-Ushfuriyah mengutip hadits Nabi SAW yang bersumber dari Anas bin Malik. Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT senantiasa memandang wajah orang yang sudah tua (dua kali dalam sehari), yakni pada pagi hari dan sore hari.

Lalu Allah SWT berfirman, “Wahai hamba-Ku, usiamu telah tua, kulitmu telah menipis, dan tulangmu telah rapuh. Ajalmu pun kian mendekat dan telah tiba kedatanganmu kepada-Ku. Oleh karena itu malulah kepada-Ku, maka sebab uban (yang tumbuh di kepalamu) aku malu menyiksamu di dalam neraka”. 

Hadits ini membincang balasan malu kepada Allah SWT bagi orang yang sudah tua yang ditandai dengan adanya uban di kepala. Dalam Tafsir Surah Yasin, Syaikh Hamami Zadah mengutip hadits Nabi SAW yang hampir sama, ”Uban itu cahayaku. Aku malu membakar cahaya-Ku dengan api (neraka).”

Allah SWT malu menyiksa orang tua yang beruban. Alasannya, karena sejak masih muda ketika rambutnya masih hitam digunakan hari-harinya untuk beribadah. Tentu tidak demikian halnya bagi orang tua yang beruban yang senantiasa durhaka kepada Allah SWT. Oleh karena itu, ini jadi perhatian bagi para kita semua.

Allah SWT berfirman, “Dan barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian(nya). Maka apakah mereka tidak memikirkan?” (QS. Yasin/36: 68). Menurut pengarang Tafsir Jalalain, yang dimaksud dengan “Kami kembalikan dia kepada kejadian(nya)" adalah dikembalikan dari kuat jadi lemah.

Secara lebih tegas, Allah SWT mendeklarasikan diri, “Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban.” (QS. al-Rum/30: 54).

Selanjutnya, tentang yang dimaksud malu kepada Allah SWT,  Syaikh Muhammad bin Abi Bakar kembali mengutip hadits Nabi SAW yang bersumber dari Ibnu Masud, "Malulah kalian pada Allah SWT dengan sebenar-benarnya. Para sahabat berseru, "Wahai Nabi Allah, kami sudah memiliki rasa malu."

Nabi SAW merespons, "Bukan malu itu yang dimaksud. Akan tetapi barangsiapa yang benar-benar malu pada Allah SWT, maka niscaya dia akan menjaga kepala dan sesuatu yang dikandungnya, dan menjaga perut beserta yang ditampungnya. 

Dia pasti akan selalu teringat pada kematian dan kebinasaan. Barangsiapa yang menginginkan akhirat, maka ia akan meninggalkan gemerlap kehidupan dunia. Ia akan lebih memilih kehidupan akhirat. Barangsiapa yang melakukan itu semua, berarti ia malu pada Allah SWT dengan sebenar-benarnya malu."

Al-Qur'an  menyindir, "Kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya." (QS. al-Hajj/22: 5).

Menjadi tua dan lemah  adalah niscaya, sedangkan rasa malu kepada Allah SWT belum tentu setiap orang memilikinya. Oleh karena itu, Nabi SAW memberi motivasi, "Rasa malu tidak datang kecuali membawa kebaikan." (HR. Bukhari dan Muslim). Lalu, "Rasa malu adalah bagian dari iman, dan iman berada dalam surga." (HR. Turmudzi).

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement