Jumat 27 Nov 2020 19:09 WIB

Kisah Guru Palestina yang Mengajar di Tengah Ancaman Israel

Sekolah tetap berfungsi meski dengan kondisi infrastruktur seadanya

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Esthi Maharani
Sekolah di Tepi Barat
Foto: The National News
Sekolah di Tepi Barat

REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Noor Abu Rasheed (14 tahun), yang mengenakan seragam bergaris dan masker, mengatakan nilai pelajarannya meningkat sejak sebuah sekolah dibuka di dekat rumahnya di Tepi Barat. Tetapi jika ada perintah pembongkaran gedung dari Israel, dia dan anak-anak lainnya pun bakal tergusur.

"Mata pelajaran utama saya adalah matematika," kata Noor, salah satu dari sekitar 50 siswa di sekolah terpencil Ras Al Tin di Tepi Barat, sebagaimana dilansir di The National News, Jumat (27/11).

Di sekolah itu ada lima ruang kelas yang dibangun pada awal tahun ini. Untuk bisa mengikuti pendidikan di sana, anak-anak dari komunitas setempat harus berjalan kaki sejauh tujuh kilometer. Noor mengaku awalnya selalu mendapat nilai yang buruk.

"Awalnya saya selalu mendapat nilai yang buruk. Ketika saya datang ke sini semua tes saya meningkat," kata Noor yang berdiri di luar gedung sekolah, bersama domba dan keledai yang sedang merumput di dekatnya.

Agustus lalu, kelompok penggembala Palestina bertemu dan membangun ruang kelas dengan menggunakan material hasil sumbangan. Untuk sampai ke sekolah, mereka harus melewati perjalanan panjang sehingga memengaruhi jumlah siswa yang hadir.

Sebelum tahun akademik dimulai, para pejabat Israel telah melewati kawasan tersebut lalu menyita bahan dan peralatan bangunan seperti kursi dan meja di sekolah Ras Al Tin yang terletak di timur laut Ramallah, di bagian Tepi Barat yang sepenuhnya dikendalikan oleh Israel.

Cogat, badan penghubung Israel ke wilayah Palestina, mengatakan, ketanggapan mereka terhadap perencanaan dan pelanggaran pembangunan hanya untuk menjaga ketertiban umum dan supremasi hukum. "Tindakan penegakan hukum, serta penyitaan peralatan di lokasi yang tercatat dalam permintaan Anda, dilakukan sesuai dengan kewenangan dan prosedur, serta tunduk pada prioritas dan pertimbangan operasional," kata Cogat.

Menurut organisasi hak perencanaan Israel Bimkom, pihak berwenang mengeluarkan perintah pembongkaran sekolah di Ras Al Tin pada 8 September lalu. Di sisi lain, penduduk terus mendesak penyelesaian pekerjaan pondasi bangunan.

Namun kemudian mereka berhenti memasang listrik atau air yang mengalir karena khawatir dapat mendorong otoritas Israel melakukan pembongkaran. Kamar mandi untuk murid pun masih belum selesai, sedangkan gubuk kecil beberapa meter dari sekolah berfungsi sebagai toilet guru.

Kepala sekolah Ras Al Tin, Noora Azhari, mengatakan tim yang terdiri dari tujuh guru itu cukup baik. "Sekolah tetap berfungsi meski dengan kondisi infrastruktur seadanya. Ada semangat yang baik di antara para guru, manajemen dan siswa, ketekunan, dan semua orang senang," tambah Azhari.

Sebanyak 52 sekolah di Tepi Barat yang diduduki saat ini sedang dalam perintah pembongkaran. Sementara otoritas Israel mengatakan sekolah dibangun tanpa izin. Sedangkan badan anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat bahwa dokumen semacam itu sangat sulit diperoleh.

"Banyak anak di Negara Palestina menghadapi tantangan untuk mengklaim hak ini (atas pendidikan), tetapi tantangan yang dihadapi oleh anak-anak itu membuat mereka berpotensi sangat rentan," kata Lucia Elmi, perwakilan khusus Unicef untuk Palestina.

Dengan kurangnya sekolah atau bus lokal untuk membawa siswa ke tempat lain, beberapa orang tua lebih memilih untuk menjaga anak-anak mereka di rumah daripada mengambil risiko mereka bertemu dengan tentara atau pemukim Israel selama perjalanan jauh ke sekolah.

Warga Ras Al Tin sendiri mengeluhkan soal para pemukim Israel yang mulai berdatangan ke daerah tersebut dan merusak sekolah mereka. "Setiap hari mereka lewat, setiap hari mereka datang. Jika kacanya pecah dan jika mereka melempar sesuatu, kami menunggu orang dewasa datang," kata Noor.

Sebagian besar murid dan guru memakai masker wajah, mengingat saat ini ada di tengah pandemi virus corona yang telah memaksa anak-anak di seluruh dunia untuk mengambil kelas daring. Namun, Alon Cohen Lifshitz dari Bimkom mengatakan, studi jarak jauh semacam itu tidak mungkin dilakukan oleh anak-anak Ras Al Tin.

"Mereka tidak terhubung ke internet, tentu saja mereka tidak memiliki komputer atau laptop, jadi satu-satunya pilihan yang layak bagi mereka adalah membangun sekolah fisik dan belajar di sini dengan cara seperti ini," katanya.

Pelajaran terus berlanjut meski ada ancaman pandemi dan kemungkinan buldoser dapat muncul kapan saja. Di Ras Al Tin, Noor berharap sekolahnya bisa berdiri cukup lama untuk menyelesaikan pendidikannya dan memungkinkan anak-anak lain menggantikannya.

Sekolah di Tepi Barat terakhir dihancurkan pada 2015, menurut Bimkom, meski ratusan bangunan lainnya telah dirobohkan dalam beberapa tahun terakhir. Kepala sekolah Ras Al Tin Azhar pun tidak yakin apakah tembok sekolah itu akan tetap berdiri.

Namun dia bertekad agar bagaimana pun para murid tetap bisa melanjutkan sekolah mereka sekalipun sekolah tersebut dibongkar. "Kami akan pergi ke tempat lain dan membangun sekolah, atau kami akan melanjutkan di tenda. Tidak mungkin bagi kami untuk berhenti, ini adalah hak paling dasar anak-anak," kata Azhari.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement