Selasa 10 Nov 2020 03:50 WIB

Jubir Presiden Turki: Macron Pimpin Perang Salib Gaya Baru

Turki menilai Macron telah membawa bara Perang Salib gaya baru

Rep: Alkhaledi Kurnialam/ Red: Nashih Nashrullah
Turki menilai Macron telah membawa bara Perang Salib gaya baru. Pengunjuk rasa menggelar aksi boikot produk Prancis di Palembang, Sumatra Selatan, Jumat (6/11).
Foto: ANTARA/Nova Wahyudi
Turki menilai Macron telah membawa bara Perang Salib gaya baru. Pengunjuk rasa menggelar aksi boikot produk Prancis di Palembang, Sumatra Selatan, Jumat (6/11).

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA— Pernyataan dan tindakan dari Presiden Prancis yang menyinggung Umat Islam disebut seakan sedang memulai perang salib gaya baru dengan ideologi sekuler. 

Hal ini dijelaskan Juru Bicara Kepresidenan Turki, Ibrahim Kelin, yang menurutnya justru akan meningkatkan tindakan ekstrimis lainnya. 

Baca Juga

"Dengan menyatakan bahwa Islam berada dalam krisis di seluruh dunia dan membela penerbitan ulang kartun Charlie Hebdo tentang Nabi Islam, Macron tidak hanya menciptakan peluang baru bagi ISIS, al-Qaeda, dan kelompok serupa untuk merekrut dan meningkatkan kekerasan. Tapi dia juga menyinggung seluruh dunia Muslim," jelasnya dilansir dari Aljazirah, Ahad (8/11). 

Menurutnya, perlakuan kepada Muslim saat ini dengan cepat menjadi apa yang menjadi perlakuan kepada Yahudi Eropa pada abad ke-19.  Sikap negatif terhadap Islam dan komunitas Muslim ini akan semakin membatasi toleransi beragama, pluralism, dan demokrasi. 

Menurutnya, seperti yang dicatat pakar Universitas Pennsylvania, Anne Norton, dalam bukunya yang brilian tentang pertanyaan Muslim, pertanyaan Yahudi. Abad ke-19 adalah ujian untuk nilai-nilai pencerahan tentang akal, toleransi, dan inklusivitas.

Hanya dengan memperlakukan orang Yahudi, yang mengalami diskriminasi dan penganiayaan selama berabad-abad, secara setara Eropa dapat mengklaim sebagai peradaban yang didasarkan pada akal, kebajikan, dan kebebasan. 

Saat ini, perlakuan terhadap Islam dan komunitas Muslim di Barat adalah ujian baru untuk nilai-nilai demokrasi dan pluralistik yang diklaim masyarakat Barat. 

Dia menyebut Macron menuntut umat Islam untuk melepaskan nilai-nilai agama mereka pada saat Prancis sekuler meragukan nilai-nilainya sendiri. Bagi Muslim, Nabi Muhammad SAW tetap menjadi orang yang paling suci dan dihormati terlepas dari seberapa besar sekularisme, modernitas, pencerahan atau kemajuan teknologi membentuk tempat mereka tinggal.  Menghormati ini bukanlah kompromi terhadap ekstremisme kekerasan tetapi kewajiban moral dan politik. 

"Macron mungkin mencari beberapa keuntungan politik dalam memperjuangkan perang salib sekuler baru melawan Islam dan menampilkan komunitas minoritas Muslim sebagai "yang lain" dari peradaban Barat.  Tetapi pencarian ini tidak akan membantu meringankan krisis yang dialami negaranya dan negara lain di kawasan itu. Dia menyerukan reformasi Islam agar sesuai dengan "nilai-nilai" Republik Prancis pada saat masyarakatnya telah kehilangan kepercayaan pada nilai-nilai ini," ungkapnya. 

Kelin menyatakan Muslim di seluruh dunia mengutuk dan mencela para ekstremis dan teroris yang memanipulasi agama mereka atas nama memerangi kejahatan budaya Barat sekuler modern. 

Ia menuturkan, kelompok-kelompok seperti ISIS, al-Qaeda, dan kelompok teroris lainnya yang membunuh lebih banyak Muslim daripada kelompok lain dan menyakiti Islam lebih dari musuh lainnya. 

"Namun publikasi dan sanksi kartun Charlie Hebdo oleh elite politik atas nama kebebasan berekspresi adalah bentuk lain dari kekerasan terhadap hati dan pikiran semua Muslim di seluruh dunia.  Itu hanya menimbulkan tembok pemisah antara masyarakat Islam dan Barat.  Ini memperdalam rasa ketidakpercayaan pada saat kita sangat membutuhkan rasa saling percaya," ujarnya. 

"Apa yang disebut "pertanyaan Muslim" di Eropa saat ini tidak akan diselesaikan dengan melancarkan perang salib sekuler baru.  Ini membutuhkan politik yang lebih bijaksana, rasa hormat yang sejati terhadap orang lain dan pertimbangan yang lebih serius tentang nilai-nilai bersama dan masa depan kita bersama," tambahnya.

Sumber: https://www.aljazeera.com/opinions/2020/11/8/europes-muslim-question-and-the-new-secular-crusade/

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement