Jumat 14 Aug 2020 09:53 WIB

Islam di Polandia, 'Surga' Bersama dan Ancaman Islamofobia

Polandia merupakan salah satu negara yang menjadi surga untuk Muslim.

Rep: Fuji Pratiwi / Red: Nashih Nashrullah
Ponlandia merupakan salah satu negara yang menjadi surga untuk Muslim.  Matahari terbit diatas kota yang diselimuti kabut asap di Krakow, Polandia, Selasa (7/4).
Foto: EPA-EFE/LUCASZ GAGULSKI POLAND OUT
Ponlandia merupakan salah satu negara yang menjadi surga untuk Muslim. Matahari terbit diatas kota yang diselimuti kabut asap di Krakow, Polandia, Selasa (7/4).

REPUBLIKA.CO.ID, Polandia yang kini berbatasan dengan Lituania dan Belarus, mempunyai sejarah panjang persahabatan dengan Muslim sejak zaman dahulu. "Bila di negeri tetangga kami Muslim disudutkan, kami saling menghormati di sini," kata Halima Szahidewicz, pemimpin komunitas Muslim di Bialystok, ibu kota wilayah Podlaskie di timur laut Polandia. 

Negeri ini adalah surga bagi kaum Muslim. Hidup dalam damai, kata dia, adalah keinginan semua orang di Polandia. "Kami fokus pada kesamaan kami, kami juga mencoba untuk mengakui perbedaan-perbedaan di antara kami dan saling menjaga," katanya.   

Baca Juga

Saat ini, jumlah umat Islam di Polandia berkisar puluhan ribu saja. Dari jumlah itu, yang terbesar adalah Muslim etnis Tatar, disusul Turki. Muslim Tatar diperkirakan mulai menghuni negara itu pada akhir abad ke-14.

Sejauh ini, sangat sedikit informasi sejarah yang bisa digali mengenai suku Tatar yang banyak tinggal di kawasan timur laut Polandia. Namun, bisa dipastikan, mereka merupakan etnis Turko-Mongol keturunan Golden Horde, sebuah kerajaan yang dibuat anak Jenghis Khan, Juchi. Namun, tak ada catatan pasti kapan mereka mulai bermukim di Polandia. Sebuah catatan bertahun 1392 menyebutkan, saat itulah suku Tatar mulai mendiami Polandia.

Bukan perkara mudah bagi suku Tatar tinggal di sebuah negeri baru. Suku Tatar adalah para pengelana padang-padang luas, tempat yang tak banyak mereka jumpai setelah pindah ke Polandia. Pada akhir abad ke-15, suku Tatar mulai teraklimatisasi dengan kultur setempat, mulai bisa menetap setelah hidup berpindah-pindah. Pada abad ke-16, orang-orang suku Tatar tak lagi sulit berbicara dalam bahasa setempat.

Bagaimana tidak, para pria suku Tatar diharuskan menikahi wanita lokal. Saat para bapak sibuk menyusun siasat kemenangan di tengah medan perang, anak-anak perkawinan campuran ini menjadi lebih dekat dengan kultur dan bahasa para ibu.

Meski lupa bahasa tanah leluhur, hal itu tak berlaku bagi agama yang dianut anak cucu keturunan suku Tatar. Mereka tetap memeluk Islam. Hubungan dengan Islam tak putus, meski Muslim di Polandia tak banyak berhubungan dengan dunia Islam di luar. Berhaji ke Makkah tetap menjadi hal utama yang mereka perjuangkan untuk menyempurnakan rukun Islam.

Sebuah tulisan panjang dalam bahasa Turki yang ditulis atas perintah Rustem Pasha, seorang wazir pada masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni menyebut, seorang Tatar Polandia pernah mengunjungi Istanbul sekembali dari Makkah. Tulisan berjudul Tatar Polandia itu juga menyebut bahwa hanya orang Tatar Polandia yang cukup kaya saja yang bisa melakukan perjalanan semacam itu. Naskah itu juga menjelaskan keadaan suku Tatar pada 1550. Pada masa itu, orang-orang suku Tatar juga membawa koin-koin Arab usai berhaji.

Pada abad 15 dan 16, hubungan Polandia dan Tatar lebih kepada saling menjaga relasi baik. Pemerintah Polandia berkepentingan menjaga hubungan dengan suku-suku Muslim. Di era itu pula, tak jarang orang-orang suku Tatar membawa imam dari Crimea dan Turki. Mereka juga menggunakan alfabet Arab (hijaiyah) tak hanya untuk menulis Alquran, tapi juga literatur seperti tafsir, kitab, dan aneka dokumen surat-menyurat.

Pertengahan abad 16 bisa disebut sebagai masa keemasan suku Tatar, karena mereka tersebar di berbagai wilayah Polandia. Tiap desa yang mereka tempati memiliki masjid. Hingga saat ini, permukiman yang dihuni suku Tatar tetap mempertahankan nama jalan menggunakan nama-nama Tatar. Namun, keistimewaan yang diberikan kepada suku Tatar dicabut menjelang akhir abad ke-16. Di sini, tampak paralel masa keemasan suku Tatar dengan kejayaan dunia Islam di abad pertengahan.

Pada abad 16 dan 17, orang-orang Tatar lainnya menemukan tempat berlindung pula di tanah Persemakmuran Polandia-Lituania. Sebagian besar mereka adalah orang Tatar dari suku Nogay dan Crimea. Hingga 1980-an, Islam di Polandia selalu berasosiasi dengan orang Tatar.

Pada awal abad ke-20, orang-orang Tatar Lipka menjadi bagian masyarakat Polandia dan bergabung dengan kelompok Katolik Roma dalam migrasi massal ke Benua Baru. Di sana, mereka bahkan mendirikan masjid di Brookyn dan New York yang hingga hari ini masih digunakan.

Pada 1919, saat perang Polandia-Bolshevik pecah, dua pejabat militer Polandia keturunan Tatar, yakni Maciej Bajraszewski dan Dawid Janowicz-Czainski, membentuk Resimen Kavaleri Tatar yang memperkuat pertahanan Polandia. Pascaperang, unit ini kemudian bertransformasi menjadi skuadron dan meneruskan tradisi kejayaan militer bangsa Tatar pada abad 20, seperti ketika persemakmuran masih ada.

Sensus nasional pada 1931 mencatat, terdapat sekitar 6.000 orang Tatar di Polandia. Sebagian besar dari mereka tinggal di Wilno, Nowogrodek, dan Bialystok Voivodeships. Sementara sejumlah besar orang Tatar Lipka bertahan di luar perbatasan Polandia, mayoritasnya di Lituania dan Belarusia.

Meski kecil, komunitas Tatar adalah kelompok minoritas paling cemerlang di Polandia. Muslim Religious Association yang berdiri pada 1917 memusatkan programnya terhadap penjagaan aneka ibadah umat Islam. Di saat yang sama, Cultural and Educational Association of Polish Tatars bekerja menjaga dan menguatkan budaya dan tradisi bangsa Tatar.

Pada 1929, Museum Nasional Tatar dibagun di Wilno dan pada 1934 dibangun pula Pusat Arsip Nasional Tatar. Semua Muslim yang terdaftar dalam satuan militer dikirim ke Skuadron Kavaleri Tatar di Resimen Kavaleri 13. Di sini mereka dibolehkan memakai seragam dan simbol sendiri. Sementara, pasukan Army Oath for Muslim merupakan pasukan Muslim lainnya yang dikukuhkan oleh imam besar tentara Polandia, Ali Ismail Woronowicz.

Sebelum Perang Dunia II terjadi, para pemimpin Muslim Tatar membentuk Dewan Mufti yang menyediakan pendidikan bagi para calon imam. Selama Perang Dunia II, komunitas Tatar Polandia merasakan dampak dari hubungan baru Jerman-Soviet dan Polandia-Soviet. Banyak intelektual Tatar yang dibunuh dalam peristiwa AB Action. Pascaperang, mayoritas permukiman Tatar dihancurkan oleh Soviet, dengan hanya tiga permukiman Tatar yang tersisa, yakni Bohoniki, Kruszyniany, dan Sokolka. Orang Tatar kemudian berpencar ke seluruh Polandia.

Saat ini, Muslim Tatar yang berasal dari Polandia banyak didapati hidup di Belarus dan Lituania. Setelah sempat vakum, pada 1971, Muslim Religious Association diaktifkan kembali dan sejak 1991 dibentuk pula Perkumpulan Muslim Polandia. Tahun berikutnya, Association of Polish Tatars juga kembali bergeliat.

Selain bagi komunitas asli Tatar, pada 1970-an, Polandia juga menjadi rumah bagi warga asli yang menjadi mualaf. Pada 1970 hingga 1980-an, Polandia mengundang para pelajar dari negeri-negeri berbahasa Arab dari Timur Tengah dan Afrika untuk belajar di sana. Banyak di antara mereka yang akhirnya memilih menetap. Mereka membentuk organisasi dan mendirikan masjid dan mushala.

Meski di era baru ini Muslim menemukan tempat di Polandia, vandalisme terhadap masjid dan serangan terhadap Muslim tetap terjadi. Pada Januari 2013, Muslim dan Yahudi bahkan terkena dampak pelarangan penyembelihan hewan berdasarkan ritual tertentu, termasuk ritual agama selama hampir dua tahun, sampai akhirnya aturan itu dicabut pada Desember 2014.

Setelah Muslim Religious Association, sebuah organisasi Islam lainnya berdiri pada 2001 di Polandia, Muslim League. Organisasi ini menganut prinsip wasathiyah. Bila Muslim Religious Association dibentuk Muslim Tatar Polandia, Muslim League sendiri ditopang para aktivis asal Arab. Organisasi ini juga mencoba menjalin hubungan dengan organisasi-organisasi Islam di Eropa.

Pada 2004, Muslim League diakui sebagai organisasi keagamaan yang legal, selain Muslim Religious Association. Sayangnya, alih-alih saling membantu, aroma persaingan kedua organisasi Islam ini sangat tercium. Padahal, keduanya sama-sama mencoba menawarkan solusi terkait eksistensi Muslim di tengah demokrasi liberal dan radikalisme. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement