Komisi VIII DPR Kritik Keras Tuntutan Ringan Terdakwa TPPO

Pelaku TPPO hanya dituntut hukuman 18 bulan penjara dan denda Rp 50 juta.

Sabtu , 02 Feb 2019, 16:50 WIB
Rahayu Saraswati Djojohadikusumo
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Rahayu Saraswati Djojohadikusumo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Rahayu Saraswati mengkritik keras rendahnya tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap terdakwa Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), J Rusna, di Batam. Tuntutan JPU dinilai tidak sesuai dengan semangat pemberantasan perdagangan manusia dengan motif penyaluran pembantu rumah tangga.

"Ini salah satu contoh gamblang bagaimana pemerintah masih harus meningkatkan sosialisasi tentang TPPO. Patut dipertanyakan maksud dari jaksa menggunakan UU Perlindungan Anak bukan UU TPPO," ujar Saraswati, dalam pesan singkatnya kepada Republika.co.id, Sabtu (2/2).

Saraswati mengungkapkan alasan mempertanyakan rendahnya tuntutan JPU karena anak buah terdakwa, Paulus Baun, lebih dulu divonis majelis hakim PN Batam 4 tahun penjara. Paulus Baun terbukti bersalah melanggar UU RI Nomor 21 tahun 2007 tentang TPPO, dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun.

J Rusna pemilik PT Tugas Mulia, awalnya juga dijerat dengan UU yang sama dengan Paulus Baun. Ia juga dijerat dengan UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (PA). Namun dalam perjalanan kasus ini J Rusna hanya didakwa JPU dengan UU PA dengan tuntutan hukuman 18 bulan penjara dan denda Rp 50 juta.

"Ada apa ini? Bukankah seharusnya negara memberikan contoh bagaimana seorang yang diduga 'mastermind' di balik kejahatan dan sindikasi TPPO dijerat dengan hukuman pidana seberat-beratnya sesuai UU TPPO?," lanjut Saraswati.

Saraswati mengatakan rendahnya ancaman hukuman bisa menjadi salah satu pintu surga bagi para pelaku TPPO untuk terus menjalankan aksi mereka. Proses peradilan yang tidak memenuhi rasa keadilan akan memberi efek buruk bagi masyarakat dalam berperan aktif melaporkan dugaan tindak pidana perdagangan orang.

“Semangat masyarakat berpartisipasi melaporkan akan turun, karena hukumannya terlalu ringan. Belum nanti terpidana dapat remisi dan pengurangan masa tahanan karena berbagai alasan,” jelasnya.

 

Ketua DPP Bidang Advokasi Perempuan Partai Gerindra menilai kejadian ini menjadi catatan akhir yang menyedihkan dari tiga program unggulan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).

Salah satu program unggulan itu adalah mengakhiri perdagangan manusia (End Human Trafficking). “KPPPA sebagai ketua gugus tugas TPPO harus bersuara dalam kasus ini. Rendahnya tuntutan ini melukai masyarakat dan ini lampu kuning untuk penegakan hukum perdagangan orang,” tegas Saraswati.