Tidak Meratanya Dokter Spesialis Jadi Permasalahan Besar

Senin , 27 Mar 2017, 20:37 WIB
Pertemuan Tim Kunspek Komisi IX DPR RI dengan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Foto: Humas DPR
Pertemuan Tim Kunspek Komisi IX DPR RI dengan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA -- Distribusi dokter spesialis yang kurang merata di daerah-daerah adalah permasalahan besar. Penempatan dokter spesialis terbesar berada di Jawa Barat sebanyak 9 ribu dokter, disusul Jawa Timur sebanyak 6 ribu dokter, dan Jawa Tengah sebanyak 5 ribu dokter.

 

Hal ini diungkapkan Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi saat pertemuan Tim Kunspek Komisi IX dengan Rektor dan Wakil Rektor Unair, Dekan FK Unair, Direktur RS Unair, Ketua IDI Wilayah Jatim, Kadinkes Pemerintah Provinsi Jatim, Kepala Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Jatim, dan delegasi Kementerian Kesehatan, di ruang rapat Unair, Surabaya, kemarin Jum'at (23/03).

 

Politisi Fraksi Partai Demokrat ini mengatakan, di daerah-daerah seperti Papua dan NTT jumlah dokter spesialisnya sangat kurang. "Hal terpentingnya adalah distribusi dokter spesialis ke daerah yang membutuhkan. Inilah kenapa pemerintah harus melakukan intervensi. Program inilah yang kemudian turun menjadi Peraturan Presiden (Perpres) No 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS)," jelas Dede.

 

Oleh karena itu, lanjutnya, guna menyaring aspirasi para pemangku pendidikan dan pemangku kebijakan kesehatan di daerah terkait aspek dalam pelaksanaan program WKDS, Komisi IX berkumjung ke Universitas Sumatera Utara, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Airlangga. Sebab, kata Dede, tidak dipungkiri, pihaknya sering menerima komplain mengenai pola penempatan WKDS di seluruh wilayah di indonesia.

 

Sementara Rektor Unair, Mochammad Nasih mengatakan, pada prinsipnya Unair akan menyambut baik kebijakan program WKDS. "Kami akan memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat, khususnya di wilayah terpencil," tuturnya.

 

Direktur RS Unair, Nasronuddin juga merespon kebijakan Perpres tersebut. Menurutnya, regulasi tersebut memiliki niat positif untuk meratakan jumlah dokter spesialis di daerah. Namun, ia meminta pemerintah untuk mempertimbangkan aspek kebutuhan rumah sakit pendidikan yang sudah dibangun jauh sebelum ada regulasi ini.

 

"Beberapa gedung sudah berdiri tetapi belum berjalan. Problemnya adalah sumber daya manusia (SDM). Di RS Unair 50 persen tenaganya berasal dari honorer lokal," pungkasnya.

 

Senada dengan Nasronuddin, Kadinkes Jatim, Kohar Hari Santoso, tidak menampik meski jumlah dokter spesialis di Jatim adalah salah satu yang paling tinggi, tetapi ada beberapa daerah yang masih kekurangan dokter spesialis. Kendalanya adalah  SDM. Untuk itu, lanjutnya, agar Jatim bisa dimasukkan dalam program WKDS.

 

"Kita punya Rumah Sakit di Pulau Bawean. Infrastruktur sudah siap tapi tenaganya belum siap. Kami sudah sampaikan ke Kementerian Kesehatan, apakah bisa dimasukkan ke program WKDS itu," jelasnya.