Komisi VI: Saham Istimewa Holding Berpotensi Diintervensi

Senin , 08 Jan 2018, 06:19 WIB
Anggota DPR Fraksi Hanura Inas Nasrullah Zubir (kanan), Anggota DPR Fraksi PDIP Adian Napitupulu (kiri), Anggota DPR Partai NasDem Teuku Taufiqulhadi (tengah)memberikan keterangan pers di gedung DPR RI komplek parlemen, Senayan, Jakarta (20/11).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Anggota DPR Fraksi Hanura Inas Nasrullah Zubir (kanan), Anggota DPR Fraksi PDIP Adian Napitupulu (kiri), Anggota DPR Partai NasDem Teuku Taufiqulhadi (tengah)memberikan keterangan pers di gedung DPR RI komplek parlemen, Senayan, Jakarta (20/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Inas Nasrullah Zubir menilai adanya klausul tentang saham istimewa pemerintah terhadap anak usaha holding akan berpotensi menimbulkan intervensi. Padahal, intervensi ini tidak boleh dilakukan, apalagi untuk perusahaan yang sudah go public, meski dia sudah tergabung dalam holding.

Politikus Hanura tersebut menjelaskan, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2016 terkait holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengatur saham istimewa pemerintah pada anak Perusahaan BUMN. Artinya sekecil apapun saham pemerintah pada anak perusahaan BUMN akan mampu mengintervensi anak perusahaan tersebut.
 
"Ini tentu kesewenang-wenangan, misalkan satu persen saja saham pemerintah pada anak perusahaan BUMN, ia (pemerintah) bisa mengintervensi kebijakan pada anak perusahaan BUMN itu. Padahal anak perusahaan BUMN itu swasta, ada saham publik," kata Inas dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Ahad (7/1) lalu.
 
Inas mencontohkan, Perusahaan Gas Negara (PGN ) yang akan dicaplok dan menjadi anak perusahaan Pertamina, pemerintah akan menaruh saham istimewa pada PGN hingga pemerintah bisa mengintervensi PGN secara langsung tanpa melalui induk usaha. Padahal tegas Inas, di PGN terdapat saham publik yang mesti dihormati oleh pemerintah.
 
Berbeda kondisi dengan saat ini PGN, di mana masih menjadi perusahaan BUMN karena sebagian besar sahamnya masih dimiliki oleh pemerintah sehingga pemerintah berhak melakukan intervensi. "Harusnya pemerintah tidak sewenang-wenang, tentu saja ini mendegradasi kepercayaan publik kepada pemerintah. Merusak iklim investasi," ujarnya.
 
Permasalahannya, tegas Inas, delik saham istimewa itu tidak ada acuannya dalam undang-undang (UU) BUMN dan UU Keuangan Negara. "PP 72 Tahun 2016 perubahan dari PP 44 Tahun 2005 itu mengacu ke Undang-Undang mana? Tidak boleh seenaknya saja," pungkas Inas.
 
Sebagaimana diketahui dalam PP 72 menyebutkan, "Dalam hal kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga sebagian besar saham dimiliki oleh BUMN lain, maka BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN dengan ketentuan negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar."