DPR Minta Menkominfo Tunda Rencana Penurunan Tarif Operator

Senin , 22 Aug 2016, 10:03 WIB
Teknologi Surya: Infrastruktur telekomunikasi bertenaga surya di desa Balabakan.
Foto: taufik rachman
Teknologi Surya: Infrastruktur telekomunikasi bertenaga surya di desa Balabakan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Anggota Komisi I DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi meminta menteri Komunikasi dan Informatika RI Rudiantara untuk menunda rencana penurunan tarif interkoneksi operator selular Indonesia.

Sebab, Bobby mencermati persaingan antar operator telekomunikasi, baik BUMN dan swasta dengan mayoritas investor asingnya, sudah semakin tidak sehat.

Bukan sekadar perang tarif yang di promosikan, yang ujung-ujungnya belum tentu menguntungkan konsumen dalam jangka panjang dalam kualitas layanannya. Tapi berpotensi menimbulkan polemik kerugian negara.

"Pemerintah harus menjelaskan kepada Komisi I, bahwa rencana penurunan biaya interkoneksi dalam 18 skema, dipastikan tidak berpotensi merugikan atau mengurangi pendapatan negara di kemudian hari," kata Anggota Komisi I Bobby, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (22/8).

Di satu sisi, lanjut Bobby, BUMN dan Telkom, menjelaskan bahwa rencana ini akan berpotensi merugikan negara Rp 15 triliun per tahun, dan membuat operator non Telkom 'malas' memperluas jaringan infrastruktur baru.

Disisi Lain, operator dengan mayoritas investor asing seperti Indosat Ooredo, XL Axiata, membalas dengan Telkom memonopoli jaringan luar Jawa, dan 'malas' berbagi infrastruktur (inf sharing). Sehingga non Telkom menjadi tidak kompetitif.

Politikus Partai Golkar ini juga mendesak Menkominfo menjelaskan hal ini kepada Komisi I, termasuk rencana revisi PP No 52 dan 53 tahun 2000, yang dengan SE No 1153/M.Kominfo/PI.0204/08/2016 akan memberlakukan penurunan tarif interkoneksi pada tanggal 1 September 2016 sampai 2018.

Padahal, lanjut dia, Komisi I juga akan mengajukan revisi UU 39/1999 tentang Telekomunikasi. "Sebelum hal ini dijelaskan ke publik, Menkominfo hendaknya menunda rencana tersebut. Sehingga, tidak ada potensi kerugian negara seperti yang banyak diberitakan di media," ujar dia.