Selasa 24 May 2016 10:39 WIB

DPD Soroti Permasalahan Pertanahan dan Infrastruktur

Pembangkit Listrik Tenaga Uap
Pembangkit Listrik Tenaga Uap

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI memandang masih banyak permasalahan yang terjadi di daerah memerlukan respons cepat dari pemerintah. Persoalan tersebut antara lain berkaitan dengan persoalan pertanahan, infrastruktur, dan pendidikan. Hal itu disampaikan sejumlah anggota DPD RI saat melaporkan hasil reses pada Sidang Paripurna DPD RI ke-12 Masa Sidang V Tahun 2015-2016.

Konflik pertanahan merupakan salah satu permasalahan yang disampaikan dalam laporan reses.  Anggota DPD Provinsi NTB Lalu Suhaimi Ismy  meminta pemerintah segera turun tangan menyelesaikan konflik agraria yang ada di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Kurangnya pasokan listrik juga menjadi sorotan dalam laporan hasil reses anggota DPD RI yang juga menjadi bidang tugas dari Komite II DPD RI. Lalu Suhaimi Ismy melaporkan banyaknya masyakat di NTB yang belum dapat merasakan terangnya listrik. Tak hanya di NTB, kurangnya pasokan listrik juga terjadi di Banten, dimana terdapat sekitar 18 ribu rumah yang belum teraliri listrik.

“Ini sangat mendesak karena sudah 70 tahun kita merdeka tapi masih belum menikmati hasil listrik,” tutur Lalu.

Selain itu, Senator asal Banten, Ahmad Sadeli Karim meminta pemerintah untuk mencermati kasus perizinan pengaturan hak lahan baik itu perorangan atau perusahaan. “Pemerintah harus turun tangan untuk menyelesaikan konflik ini,” katanya.

Senator asal Papua, Mesakh Mirin mendesak pemerintah pusat untuk memperhatikan Papua, mulai dari pembangunan infrastruktur hingga pasokan listrik untuk kesejahteraan masyarakat Papua.

“Otonomi Khusus di Papua harus diawasi agar berjalan sesuai dengan tujuannya yakni untuk mensejahterakan Papua, bukan menjadi ajang korupsi,” ujar Mesakh.

Di Jambi, Senator M. Syukur melaporkan kurangnya pasokan listrik di daerah pemilihannya menimbulkan persoalan pupuk bersubsidi. “(sebanyak) 40 persen Jambi bergantung pada karet dan sawit, untuk itu perlu dipikirkan ekonomi alternatifnya jika dalam masa replating dibutuhkan waktu 3,5 tahun ditambah sulitnya persoalan pupuk bersubsidi,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement