Rabu 16 Jul 2014 05:09 WIB

Kritik UU MD3, DPD Singgung Pidato Kenegaraan Presiden

Rep: c57/ Red: Mansyur Faqih
Irman Gusman
Foto: antara
Irman Gusman

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengkritik Undang-Undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) yang baru saja disahkan. Karena undang-undang itu dianggap sebagai kemunduran. 

Ketua DPD Irman Gusman menyinggung mengenai masalah pidato kenegaraan Presiden RI setiap 16 Agustus. Selama lima tahun, konvensi itu dianggap sudah berjalan baik. 

Yaitu, presiden bergantian pidato di DPR dan DPD setiap 16 Agustus. "Seharusnya, konvensi ini bisa menjadi yurisprudensi dengan pengesahan UU MD3. Namun poin itu tidak diatur dalam UU MD3 saat ini," ungkap Irman di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (15/7).

Padahal, katanya, sebagai lembaga tinggi negara setingkat DPR, Fungsi DPD harus dilaksanakan dengan baik. "Poin ini masuk dalam sengketa kewenangan DPD dan DPD. Begitu pula soal Mahkamah Kehormatan DPD yang tidak dibahas dalam UU MD3," tegas Irman.

Irman menyatakan, DPD akan membentuk tim litigasi yang beranggotakan senator dengan berbagai latar belakang. Terutama dari bidang hukum, aktivis dan politik.

"Seharusnya UU MD3 memberdayakan lembaga-lembaga negara, termasuk DPD. Jangan sekadar bersifat transaksional atau politis," jelas Irman.

Ia pun menyoroti proses pembahasan hingga pengesahan UU MD3 yang agak misterius.

"Posisi konstitusional DPD dalam UU MD3 hanya masuk sepenggal-sepenggal saja dalam undang-undang itu. Padahal, MK telah mengeluarkan keputusan pada 27 Maret 2013," tuturnya.

Seharusnya, kata dia, Pansus UU MD3 DPR memasukkan keputuan MK secara utuh dan bulat, tidak sepenggal-sepenggal. "UU MD3 saat ini tidak lebih baik dari UU MD3 2009," tegas Irman.   

Ia mengaku khawatir UU MD3 akan menimbulkan potensi sengketa kewenangan antarlembaga negara. Karena MK terlah menjelaskan posisi konstitusional DPD dalam bidang angggaran, pengawasan dan otonomi daerah.

Ia menjelaskan, pembahasan otonomi daerah yang menjadi ranah DPD terkait erat dengan hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah. Serta sumber ekonomi selain sumber daya alam (SDA) serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. 

"Dalam setiap pembahasan perundang-undangan terkait masalah itu, DPR harus mengikutsertakan DPD secara maksimal," ungkap Irman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement