Kamis 15 Nov 2018 13:45 WIB

Kasus Ibu Nuril, Hukum Jangan Sampai Kehilangan Hakikatnya

MA memutus bersalah Nuril karena percakapan asusila kepala sekolah di Mataram.

Rep: amri amrullah/ Red: Dwi Murdaningsih
Anggota DPD RI Dapil NTB Baiq Diyah Ratu Ganefi (kanan) berkunjung ke ruang Baiq Nuril (tengah) di Perumahan Telagawaru, Labuapi, Lombok Barat, NTB, Rabu (14/11).
Foto: Republika/Muhammad Nursyamsyi
Anggota DPD RI Dapil NTB Baiq Diyah Ratu Ganefi (kanan) berkunjung ke ruang Baiq Nuril (tengah) di Perumahan Telagawaru, Labuapi, Lombok Barat, NTB, Rabu (14/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus hukum yang menimpa seorang ibu rumah tangga, Baiq Nuril Maknun, yang berprofesi sebagai staf honorer di salah satu SMA Negeri Mataram mendapat perhatian banyak pihak. Salah satunya dari Anggota DPD Fahira Idris.

Nuril diduga menjadi korban pelecehan seksual secara verbal oleh atasannya (kepala sekolah), dan di Mahkamah Agung (MA) divonis melanggar aturan UU ITE. Nuril dianggap menyebarkan informasi elektronik yang mengandung muatan kesusilaan.

“Jangan sampai hukum kehilangan hakikatnya. Intisari dari hukum itu adalah keadilan. Menurut saya, Ibu Nuril belum mendapatkan itu," ujar aktivis perempuan Fahira Idris, Kamis, (14/11).

Walau vonis hakim wajib dihormati, tetapi sebagai warga negara, publik berhak menyampaikan keperihatinan. "Saya berharap Ibu Nuril menempuh langkah hukum selanjutnya (Peninjauan Kembali) dan kita doakan bersama keadilan bisa menghampiri Ibu Nuril,” tutur Senator asal DKI Jakarta ini.

Putusan MA untuk Baiq Nuril Mengejutkan

Fahira mengungkapkan, salah satu agenda penting bangsa ini adalah melawan segala bentuk kejahatan seksual kepada perempuan baik secara fisik maupun verbal yang angkanya masih sangat tinggi.

“Saya khawatir akibat kasus ini, banyak perempuan-perempuan lain yang mungkin mengalami pelecehan seksual terutama verbal lebih memilih diam dan bungkam. Tentunya ini kontradiktif dalam upaya kita melawan segala macam bentuk kejahatan seksual terhadap perempuan,” kata dia.

Sebagai informasi, kasus ini bermula ketika Baiq Nuril merekam pembicaraan Kepala Sekolah (M) dengan dirinya pada 2012 yang diduga mengandung muatan kesusilaan. Belakangan, percakapan itu terbongkar dan beredar di masyarakat.

Pelaku berinisal M yang juga kepala sekolah tidak terima dan melaporkan Nuril ke polisi pada 2015 dan disangkakan melanggar Pasal 27 ayat 1 UU ITE. Pada Juli 2017, PN Mataram membebaskan Baiq Nuril karena hakim menilai perbuatan Nuril tidak melanggar UU ITE di pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) sebagaimana dakawaan jaksa. Namun di tingkat kasasi Nuril divonis penjara 6 bulan dan denda Rp 500 juta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement