Senin 01 Aug 2022 09:13 WIB

Konflik Agraria Masih Jadi Persoalan Serius di Sulawesi Tengah

Konflik-konflik itu terjadi pada usaha tambang maupun perusahaan sawit

Sejumlah petani menggarap lahan singkong saat aksi simpatik Hari Tani Nasional di area lahan pertanian di Desa Pagerwangi, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Kamis (24/9). Dalam aksi yang digelar dalam rangka Hari Tani Nasional tersebut mereka menuntut kepada pemerintah untuk segera melaksanakan reforma agraria, menghentikan alih fungsi lahan, hentikan intimidasi serta kriminalisasi petani dan penyelesaian konflik masyarakat petani. Foto: Abdan Syakura/Republika
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Sejumlah petani menggarap lahan singkong saat aksi simpatik Hari Tani Nasional di area lahan pertanian di Desa Pagerwangi, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Kamis (24/9). Dalam aksi yang digelar dalam rangka Hari Tani Nasional tersebut mereka menuntut kepada pemerintah untuk segera melaksanakan reforma agraria, menghentikan alih fungsi lahan, hentikan intimidasi serta kriminalisasi petani dan penyelesaian konflik masyarakat petani. Foto: Abdan Syakura/Republika

REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Konflik agraria masih menjadi persoalan serius yang terjadi di wilayah Sulawesi Tengah. Konflik yang terjadi itu melibatkan masyarakat, pihak swasta dan pemerintah.

"Konflik-konflik itu terjadi pada usaha tambang maupun perusahaan sawit itu pada umumnya terkait dengan persoalan lahan," kata Sofyan Farid Lembah, ketua Ombudsman RI perwakilan Sulawesi Tengah, ketika berbincang kepada Republika.co.id di Palu, beberapa waktu lalu. 

Berdasarkan kajian yang pernah dilakukan Ombudsman pada 2018, Sofyan mengatakan sengketa lahan antara perusahaan dan masyarakat terjadi karena tidak dilakukannya verifikasi bukti kepemilikan lahan oleh pemerintah daerah. "Ini banyak terjadi di Morowali Utara," ujarnya. 

Dalam salah satu kesimpulan laporan Ombudsman, Sofyan mengatakan bahwa perusahaan perkebunan kelapa sawit menjadikan izin lokas dan izin usaha perkebunan budidaya (IUP-B) sebagai dasar penguasaan lahan. Sayangnya hal itu, kata dia, tanpa diawali pembebasan lahan atau kesepakatan penyerahan tanah kepada perusahaan untuk kepentingan perkebunan. 

"Hal ini diakibatkan juga karena perilaku pemerintah desa dan pemerintah kecamatan dalam menerbitkan SKPT dan Surat Penyerahan yang tumpang tindih dengan kawasan hutan, sawah, permukiman warga serta ditemukan pula adanya jual-beli SKPT tanpa objek yang jelas," katanya. 

Hal yang sama juga diungkapkan oleh salah satu aktivis agraria, Eva Bande. Ia menyebut persoalan konflik lahan di Sulawesi Tengah masih marak terjadi. Ia menyebut konflik yang terjadi di Morowali Utara, Banggai, Buol, Donggala, maupun Toli-Toli. 

"Semua konflik itu kerap kali berujung pada upaya kriminalisasi pada warga dan petani. Ini sangat disayangkan," ujarnya. 

 

   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement