Kamis 25 Feb 2021 14:35 WIB

Ini Faktor Penyebab Tingginya Harga Cabai Rawit

Pasokan cabai rawit pada Desember 2020 lebih sedikit dibanding tahun sebelumnya.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Ratna Puspita
Cabai rawit merah.
Foto: Yulius Satria Wijaya/ANTARA FOTO
Cabai rawit merah.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Wakil Ketua Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) Jatim Nanang Triatmoko mengatakan, faktor penyebab mahalnya harga cabai rawit di pasaran saat ini adalah hukum pasar. Yakni, rendahnya pasokan dari petani, sementara permintaan dari masyarakat cukup tinggi. 

Nanang mengatakan, pasokan cabai rawit pada Desember 2020 terbilang lebih sedikit dibanding tahun sebelumnya. Sebab, sekitar 30 persen petani cabai rawit di Jatim memilih tidak menanam.

Baca Juga

“Karena mereka rugi dan kehabisan modal akibat produksinya tidak terserap pasar dan harganya jauh di bawah Break Even Point (BEP) saat itu,” ujarnya, Kamis (25/2). 

Faktor lainnya, kata dia, adalah curah hujan yang cukup tinggi di sejumlah daerah yang menjadi sentra produksi cabai rawit seperti Banyuwangi, Blitar, Kediri, Lamongan, Gresik, dan Tuban yang memiliki jenis tanah tadah hujan. “Jika curah hujan tinggi di sana, banyak cabai yang mati karena penyakit layu sehingga produksi pun berkurang 30 persen," ujarnya. 

 

Ia mencontohkan, Banyuwangi, yang biasanya mengirim cabai sebesar 100 ton per hari, saat ini hanya mengirim sekitar 70 ton. "Namun, harga cabai rawit ini diperkirakan akan turun secara bertahap sejalan dengan masuknya panen raya dan harga akan kembali normal pada bulan ketiga,” kata dia.

Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Jawa Timur (Jatim) Hadi Sulistyo mengatakankan,  melonjaknya hargai cabai rawit di pasaran disebabkan rendahnya luas panen di awal 2021 ini. Minimnya pasokan cabai rawit akibat kondisi tersebut diperkirakan akan bertahan hingga Maret 2021. Ia memperkirakan puncak panen cabai rawit di Jatim terjadi pada April-Mei 2021.

Selain rendahnya luasan panen, kenaikan harga cabai rawit juga dipicu masa tanam yang mundur pada periode 2020/2021. Mundurnya masa tanam ini lantaran petani mempertimbangkan musim penghujan.

Apalagi, musim penghujan juga dibarengi La Nina yang menyebabkan curah hujan cukup tinggi.  La Nina juga menjadi salah satu penyebab terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir. Hal itu berpotensi mengancam sektor pertanian.

Kemudian, kewaspadaan terhadap Organisme Penganggu Tumbuhan (OPT) mengingat musim hujan memiliki kelembaban tinggi untuk pertumbuhan OPT. “Kita lakukan peningkatan monitoring perkembangan cuaca melalui koordinasi dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) setempat,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement