Senin 14 Sep 2020 14:41 WIB

Ini Penyebab Masyarakat Banyak Langgar Protokol Kesehatan

Edukasi sangat diperlukan untuk dapat mengubah persepsi masyarakat mematuhi protokol.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Friska Yolandha
Aparat kepolisian menilan pelanggar rambu di Selatan Pasar Beringharjo, Yogyakarta, Senin (14/9). Operasi dari Polresta Yogyakarta ini untuk menindak pelanggar rambu jalan searah yang marak terjadi. Selain itu, juga mengingatkan ke pengendara untuk mematuhi protokol kesehatan Covid-19.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Aparat kepolisian menilan pelanggar rambu di Selatan Pasar Beringharjo, Yogyakarta, Senin (14/9). Operasi dari Polresta Yogyakarta ini untuk menindak pelanggar rambu jalan searah yang marak terjadi. Selain itu, juga mengingatkan ke pengendara untuk mematuhi protokol kesehatan Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Beberapa daerah kini banyak menerapkan sanksi sosial bagi warga yang melanggar disiplin protokol kesehatan. Bentuk sanksinya beragam dari yang ringan, bahkan sampai ada yang memberlakukan denda.

Ada pula daerah yang memajang peti mati di pinggir jalan untuk mengingatkan bahayanya dampak penularan Covid-19. Dosen Psikologi UGM, Diana Setiyawati menilai, sanksi-sanksi itu tunjukkan sulitnya mengubah perilaku masyarakat.

Baca Juga

Ia berpendapat, setiap orang akan mengubah perilakunya jika sesuai dengan persepsi yang diyakini. Segala penyebab stres itu kebanyakan netral, yang membuat kita tertekan atau tidak itu tidak lain persepsi kita sendiri.

"Jadi, tinggal di rumah bagi orang tertentu bisa menekan, bagi orang lain bisa netral," kata Diana, Senin (14/9).

Soal persepsi, kata Diana, ada orang yang merasa dirinya rentan dan berisiko tertular, namun ada yang merasa penyakit ini ringan dan tidak begitu serius bila terkena. Jadi, semua tergantung persepsi akan keseriusan penyakit ini.

"Misalnya, ada yang menganggap Covid-19 ini tidak serius jadi tidak parah kalau terkena. Tapi, jika mereka yang menganggap serius, maka mereka akan menimbang protokol kesehatan," ujar Diana.

Untuk itu, ia mengingatkan, edukasi sangat diperlukan untuk dapat mengubah persepsi masyarakat mematuhi protokol kesehatan. Meyakinkan memakai masker dan cuci tangan bisa lindungi mereka dari risiko penularan sangat penting.

"Kita harus yakinkan diri apa iya pakai masker dan cuci tangan bisa membuat terlindungi, kalau sudah takdir bagaimana, persepsi beratnya patuhi protokol kesehatan misalnya pakai masker pengap, cuci tangan buat kulit kering," kata Diana.

Soal ragam sanksi sosial tidur di peti mati atau membangun peti mati di area publik, ia merasa, itu sebagai bentuk edukasi ekstrim. Sebab, sulit mengubah perilaku untuk mengajak masyarakat mengikuti protokol kesehatan.

Namun, Diana menekankan, sanksi tidak cuma harus memiliki efek jera, tapi juga harus diimbangi fasilitas mendukung. Soal masih banyaknya warga yang melanggar protokol, itu disebut sebagai bentuk keputusasaan atas kondisi.

"Bisa juga karena putus asa dengan kondisi, jadi memang yang harus kita perhatikan itu memastikan agar semua orang terpenuhi kebutuhan dasarnya," ujar Diana.

Selaku peneliti kesehatan mental masyarakat, Diana mengusulkan pemerintah dapat membuat kebijakan yang bijaksana dan kompak. Sehingga, dapat dipikirkan segala aspek kehidupan masyarakat selama masa pandemi masih berlangsung.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement