Kamis 09 Dec 2021 16:12 WIB

Wagub Jabar Minta Guru Ngaji tak Disamaratakan dengan Predator Anak di Bandung

Pengawasan terhadap anak di pesantren adalah hak bagi setiap orang tua atau wali.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus raharjo
Wakil Gubernur (Wagub) Jawa Barat (Jabar) Uu Ruzhanul Ulum saat meninjau pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) secara terbatas di SMK Negeri 1 Pangandaran, Kabupaten Pangandaran, Senin (25/10/2021).
Foto: Denny Alung/Biro Adpim Jabar
Wakil Gubernur (Wagub) Jawa Barat (Jabar) Uu Ruzhanul Ulum saat meninjau pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) secara terbatas di SMK Negeri 1 Pangandaran, Kabupaten Pangandaran, Senin (25/10/2021).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Wakil Gubernur (Wagub) Jawa Barat (Jabar) Uu Ruzhanul Ulum, menyampaikan rasa prihatinnya atas kejadian pemerkosaan terhadap belasan siswa oleh seorang oknum guru di Kota Bandung. Sosok Panglima Santri Jabar menghendaki pelaku dapat ditindak tegas oleh aparat penegak hukum, agar dijerat hukuman yang berlaku.

"Pertama saya berharap kejadian ini tidak terulang kembali, kedua saya merasa prihatin sebagai komunitas pondok pesantren kejadian semacam ini," ujar Uu, di Pondok Pesantren Al Ruzhan, Desa Cilangkap, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Kamis (09/12).

Baca Juga

"Kemudian juga kita mendukung kalaupun itu sudah ditangani oleh pihak kepolisian atau APH (Aparat Penegak Hukum), agar diberlakukan hukum yang berlaku," tegasnya.

Uu berharap, masyarakat luas tidak menyamaratakan semua guru ngaji punya perilaku serupa. Sehingga tidak boleh ada rasa ketakutan dari para orang tua yang putra-putrinya sedang menempuh pendidikan di Majelis Ta'lim, di Pondok Pesantren, atau di Madrasah Diniyah. Asalkan lembaganya sudah terpercaya serta jelas sejarah dan asal usulnya.

"Sekitar 12 ribu pondok pesantren yang ada di Jawa Barat belum ditambah mungkin Majelis-Majelis, termasuk juga Madrasah Diniyah kemudian juga yang lainnya itu harapan kami tidak disamaratakan," katanya.

Uu menjelaskan, pengawasan terhadap anak yang sedang mondok di pesantren adalah hak bagi setiap orang tua/wali murid. Dengan begitu orang tua dapat memantau perkembangan anak. Juga mengecek kondisi mulai dari kesehatan fisik, mental, dan hal lainnya.

"Nah kemudian juga kalau di pesantren yang benar orang tua ini tidak memberikan secara full tetapi tetap harus ada 'ngalongok ka Pesantren,' (bahkan) pesantren saya ada libur setahun dua kali. Orang tua boleh menengok perkembangan anak di pesantren. Sehingga terpantau pendidikan, kesehatan, dan lainnya tidak cukup dengan telepon," tutur Uu.

Selanjutnya, kata dia, orang tua perlu mengedepankan kehati-hatian ekstra sebelum anaknya dipercayakan untuk jadi peserta didik suatu lembaga. Banyak aspek yang perlu dipertimbangkan mulai dari biaya, fasilitas, metode belajar, asal usul pendidikan guru, pendiri, yayasan, hingga legalitas lembaga yang berdiri.

Selanjutnya, kata dia, orang tua bisa memilih sekolah yang sudah terbukti menghasilkan lulusan berkualitas. Bisa saja dengan melihat tetangga, kerabat, atau testimoni dari lulusan yang sudah pernah menempuh pendidikan di suatu lembaga.

"Kemudian juga kita harus mewaspadai seandainya ada pesantren-pesantren yang aneh-aneh. Dari pendidikannya, perilaku, dan lainnya, jangan sampai orang tua ini memberikan anak kepada pesantren tetapi tidak tahu latar belakang lembaga tersebut," kata Uu.

Adapun perkembangan saat ini, para siswa yang menjadi korban tengah mendapat pendampingan oleh tim DP3AKB Provinsi Jawa Barat untuk trauma healing. Kemudian akan disiapkan pola pendidikan baru sesuai hak tumbuh kembangnya.

Berharap kejadian serupa tak terulang di masa yang akan datang, Uu berharap hukum yang seadil-adilnya terhadap pelaku. Serta adanya pengawasan yang lebih prima dari semua pihak.

Menurut Uu, kepada pihak yayasan atau lembaga pendidikan/pesantren, Uu meminta agar rutin memonitor setiap kegiatan di sarana pendidikannya. Selanjutnya agar lebih selektif memilih tenaga pengajar.

"Saya juga minta kepada pimpinan pesantren harus ada pemantauan ketat terhadap para pengajar ustaz/ustazah, asatid/asatidah termasuk pengurusan yang lain," kata Uu.

"Dan juga biasanya di pesantren inikan santri putri diajar guru putri lagi. Santri laki-laki oleh guru laki-laki lagi. Kecuali biasanya pimpinan umum pesantren atau pendiri sebagai 'Syaikhul Masyaikh' (tertua) baru bisa mengajar santri/santriwati. Tetapi itupun biasanya dibatasi dengan kelir pembatas antara laki-laki dan perempuan," imbuhnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement